Kamis, 12 Juli 2007

Soni Farid Maulana, "Puisi Membaskan Batin Saya!"

SONI FARID MAULANA termasuk salah seorang penyair penting dari generasi tahun 1980-an. Ia segenrasi dengan penyair Acep Zamzam Noor, Nirwan Dewanto, Dorothea Rosa Herliany, Joko Pinurbo, Isbedy Stiawan ZS, Agus R. Sardjono dan Ahmadun Yosi Herfanda. Di bawah ini percakapan kecil dengan penyair tersebut saya tuliskan, untuk keperluan yang lebih luas. Puisi-puisi yang ditulisnya banyak sudah dibahas orang, baik dalam bentuk esai, skripsi, maupun disertasi. Salah seorang penulis asing yang menulis puisi Soni Farid Maulana untuk disertasinya adalah Ian Campbell dari Australia. Puisinya selain diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, juga kedalam bahasa Jerman dan Belanda. Antara lain diterjemahkan oleh Dr. Berthlod Damshauser dan Prof. Dr.A. Teeuw

Susiana Puspitasari: “Sehampar Kabut” masuk dalam Lima Besar Khatulistiwa Literary Award 2005-2006. Bagaimana perasaan Anda?

Soni Farid Maulana: Alhamdulillah, senang. Kumpulan puisi tersebut terbit setelah antologi puisi “Secangkir Teh”.

Susiana Puspitasari: Sejak kapan Anda mulai menulis puisi?

Soni Farid Maulana: Sejak tahun 1976.

Susiasana Puspitasari: Kalau boleh saya tahu, siapa penyair yang Anda kagumi saat ini?

Soni Farid Maulana: Ada banyak. Di antaranya Rendra, Wing Kardjo, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Baudelaire, Rumi, Hafiz, Sana’i, Tufu, Sutardji Calzoum Bachri, Pablo Neruda, dan lain-lain.

Susiana Puspitasari: Apa yang menggerakkan hati Anda menulis puisi?

Soni Farid Maulana: Saya tidak tahu. Saya tidak bisa mengatakannya. Tapi yang jelas selalu ada sesuatu yang ingin saya ekspresikan di atas kertas. Jika batin saya hamil oleh sebuah pengalaman, maka pengalaman itu ada kalanya saya ekspresikan dalam bentuk puisi atau cerita pendek. Yang jelas, dengan menulis puisi atau cerita pendek batin saya merasa dibebaskan dari sebuah pengalaman yang entah apa namanya, yang melahirkan rasa bahagia di hati saya.

Susiana Puspitasari: Sejak kapan Anda berkenalan dengan puisi?

Soni Farid Maulana: Sejak anak-anak. Nenek saya tercinta, almarhumah Oneng Rohana adalah guru tembang Sunda cianjuran. Nenek saya sering meminta saya untuk membaca lirik-lirik tembang tersebut yang ditulis dalam bahasa Sunda. Jadi puisi yang pertamakalinya saya baca itu, ya, yang ditulis dalam bahasa Sunda. Setelah masuk SMP saya kemudian mengenal Chairil Anwar, Amir Hamzah, Sapardi Djoko Damono, dan Rendra. Setelah kuliah di Jurusan Teater STSI Bandung baru mengenal Goenawan Mohamad, Sutardji Calzoum Bachri, Baudelaire, Abdul Hadi W.M., Tufu, dan Wing Kardjo. Bahkan puisi-puisi Saini KM pun saya baca ketika saya kuliah di Jurusan Teater STSI Bandung. Saini KM dosen saya.

Susiasana Puspitasari: Setelah “Secangkir Teh” dan “Sehampar Kabut” kumpulan puisi apa yang tengah Anda tulis?

Soni Farid Maulana: “Angsana.” Kumpulan puisi tersebut diterbitkan oleh Ulitimus, Bandung.

Susiana Puspitasari: Kalau dari generasi Anda, siapa penyair yang Anda sukai puisi-puisinya?

Soni Farid Maulana: Banyak. Antara lain saya suka membaca puisi Acep Zamzam Noor, Dorothea Rosa Herliany, Agus R. Sardjono, Joko Pinurbo, Nirwan Dewanto, Sitok Srengenge, dan Binhard. Saya kagum pada mereka yang begitu fasih memainkan kata.

Susiasana Puspitasari: Anda sendiri tidak fasih?

Soni Farid Maulana: Tidak. Puisi saya sederhana. Kata orang terlalu sederhana.

Susiana Puspitasari: Anda merendah?

Soni Farid Maulana: Tidak. Saya berkata jujur.

Malam begitu dingin saat itu. Percakapan demi percakapan mengalir hingga larut malam di sebuah café, di Bandung Utara.***

Rabu, 11 Juli 2007

Khatulistiwa Literary Award 2007

10 July 2007

Salam Buku!

Sampai penyelenggaraannya yang ketujuh, Khatulistiwa Literary Award (KLA) selalu memicu kontroversi dan perdebatan. Penghargaan ini pun telah melewati sejumlah perubahan dalam sistem penjurian maupun kategori yang dilombakan. Tahun ini, anugerah sastra yang diprakarsai oleh QB World Books diadakan kembali dengan semangat pembaruan, setidaknya lewat bertambahnya kategori penghargaan. Beberapa perbaikan dalam penyebaran informasi mengenai penghargaan ini juga akan dilakukan. Hal ini bukan untuk menyelesaikan polemik, tetapi sebagai usaha tak kenal lelah mendukung perkembangan sastra di Indonesia.

KLA 2007 menghadirkan sebuah kategori baru, yaitu Penulis Muda Berbakat. Kriterianya adalah sebagai berikut:

. Karya pertama yang ditulis oleh penulis Indonesia dalam bahasa Indonesia.

. Karya bergenre fiksi, baik sastra maupun teenlit atau chicklit.

. Karya merupakan terbitan pertama dari penulis.

. Penulis berusia maksimal 30 tahun ketika karya diterbitkan.

. Diterbitkan dalam kurun waktu Juni 2006 sampai Juni 2007.

. Merupakan karya sastra asli yang diterbitkan pertama kali dalam bentuk buku. Cetak ulang tidak diperkenankan.

. Peserta mengirim buku sejumlah 6 (enam) eksemplar ke Panitia KLA 2007.

. Untuk kategori Prosa dan Puisi, kriterianya masih sama dengan KLA yang lalu, yaitu:

. Karya sastra yang ditulis oleh penulis Indonesia dalam bahasa Indonesia. Berupa kumpulan cerpen, novel atau kumpulan sajak.

. Diterbitkan di Indonesia dalam kurun waktu Juni 2006 sampai Juni 2007.

. Merupakan karya sastra asli yang diterbitkan pertama kali dalam bentuk buku. Cetak ulang tidak diperkenankan.

Panitia KLA 2007 mengundang rekan-rekan penerbit untuk mengirimkan judul yang ingin diikutsertakan lewat formulir yang tersedia sehingga dapat diterima panitia selambat-lambatnya 31 Juli 2007. Sebuah judul boleh diikutsertakan dalam kategori Prosa dan Penulis Muda Berbakat. Dewan juri akan memilih sepuluh (10) judul untuk masuk ke dalam longlist yang diumumkan tanggal 22 Agustus 2007.

Formulir pendaftaran dapat diunduh di:

khatulistiwaliteraryaward.wordpress.com

atau diperoleh dari panitia yang dapat dihubungi di:

khatulistiwa.literary.award@gmail.com

Penerbit yang bukunya termasuk dalam longlist akan menerima pemberitahuan resmi dari panitia dan diwajibkan mengirim 10 buah buku dan 1 buah dokumen soft copy untuk setiap judul atau 1 buah buku, 9 buah print out manuskrip dan 1 buah dokumen soft copy untuk setiap judul.

Nominasi atau shortlist akan diumumkan di bulan Oktober 2007. Pemenang untuk setiap kategori akan dimumkan pada malam penganugerahan KLA 2007 yang rencananya akan diadakan pada akhir November.

Hadiah untuk masing-masing kategori adalah sebagai berikut:

Prosa Rp 100.000.000

Puisi Rp 100.000.000

Penulis Muda Berbakat Rp 25.000.000,00

Kunjungi khatulistiwaliteraryaward.wordpress.com untuk membaca daftar pemenang, nominasi dan juri KLA terdahulu. Informasi lengkap mengenai tata tertib, sistem penjurian, profil panitia dan berita terbaru dapat segera dijumpai juga di sana.



Panitia KLA 2007
Jalan Cempaka Putih Tengah XIII /18
Jakarta 10510
Telp / Fax: 021 – 421 6085


===========================

Chusnato
(021 99751645)

Gratiagusti Chananya Rompas
(081 61147962)

===========================

Tata Tertib Khatulistiwa Literary Award 2007

Panitia penyelenggara sama sekali tidak terlibat dalam pemilihan dan proses penilaian juri.

Hasil dari setiap tahap penjurian akan dikirim dalam amplop tertutup kepada akuntan publik yang ditunjuk.

Identitas juri akan dirahasiakan sampai tahap penjurian berakhir. Hal ini akan dicantumkan dalam memorandum antara panitia penyelenggara dengan para anggota juri.

Apabila ada juri yang – secara sengaja maupun tidak sengaja – melanggar perjanjian ini, maka penilaian juri tersebut akan didiskualifikasi dan tidak akan dimasukkan dalam tabulasi final.

Keputusan juri, yang akan diumumkan oleh akuntan publik yang ditunjuk, adalah sah dan final serta tidak dapat diganggu-gugat. Tidak diperkenankan surat-menyurat kepada anggota juri selama penjurian berlangsung.

Bila dalam hasil penilaian final muncul dua nama dengan jumlah nilai sama, hadiah akan dibagi dua.

Penerbit yang bukunya termasuk dalam longlist, shortlist dan menerima penghargaan wajib mencantumkan logo KLA di sampul depan buku.

Pajak hadiah akan ditanggung oleh penerima hadiah.

Selasa, 10 Juli 2007

Tempat Domisili Seorang Sastrawan

Oleh BENI SETIA

Salah satu gema polemik yang tertinggal dari gairah berkesusastraan pada dekade 80-an kemarin adalah gagasan sastra kontekstual. Secara konsepsi gagasan sastra kontekstual ini menekankan pentingnya kesadaran seorang sastrawan, yang ber-domisili di satu tempat yang kongkrit, dan karenanya menyadari situasi sosial-politik dari tempatnya berdomisili, dan lalu meresponnya. Responnya itu bisa bermakna menandai ketidakadilan sosial, struktural atau nonstruktural, menandai pelaku-pelakunya, dan melakukan penandaan deskriptif dan/atau pemihakan dengan meluncurkan teks kritik atau teks emansipatorik.

Bagi saya sendiri, masalah yang kemudian muncul adalah konsepsi tentang domisili dari kesadaran si sastrawan itu sendiri. Bagi saya, seorang sastrawan tak hanya tinggal, misalnya, di Cimelas, dan karenanya mengamati dan menyimpulkan tatanan struktural sosial-politik masyarakat Cimelas yang memelas di dalam karyanya. Sehingga ia hanya bisa menjadi sastrawan Cimelas - dan karena Cimelas itu bagian dari Indonesia maka ia menjadi sastrawan Indonesia yang kontekstual menghadirkan potret Cimelas. Tapi ia bisa memilih Cimarahmay atau Ciramohpoy yang unik, dan melakukan penelitian partisipasif sehingga ia memahami situasi struktural dari Cimarahmay atau Ciramohpoy secara empatik, lantas menuliskan teks sastra.

Dengan kata lain, yang utama itu bukan domisili dan konteks tapi lokasi dan penelitian partisipasif empatik. Dan semua sastrawan, terutama yang menulis dalam genre sastra prosa, yang menekankan pentingnya faktor setting yang kongkrit bagi pengembangan karakter dan konflik [cerita], terbiasa melakukan penelitian partisipasif empatik tentang detil wilayah dan budaya dari setting yang dipilihnya. Mereka meneliti agar paham akan detil wilayah, budaya dan kebiasaan sosial, mereka melakukan pencocokan wilayah, ciri budaya dan kecederungan sosial setempat, dan karenanya mereka meneguhkan ciri wilayah, corak budaya setempat, dan ilustrasi umum kecenderungan sosial. Mereka melakukan penelitian tertutup, tak terang-terangan melakukan penelitian yang ketat dengan pola dan metoda ilmu sosial. Disebabkan mereka hanya ingin bercerita dan bukan meneliti atau menghadirkan gambaran penelitian yang valid lewat aliran cerita.

Gagasan sastra kontekstual itu sendiri sebenarnya bias, karena berpijak di dua daerah yang berbeda. Sastra yang selalu ada di wilayah fiksi tidak bisa ditarik untuk berserius melakukan pemahaman tematik cerita secara faktual dengan penelitian yang ketat khas ilmu social. Sekaligus pemihakan dan simpati humanistik yang dijadikan motor penelitian dan motif penulisan karya sastra, akan melahirkan gambaran yang berbeda ketika diluncurkan untuk melakukan penelitian dan laporan pene-litan yang bisa diverifikasi secara ilmiah, dengan ketika dipakai untuk menghidupkan cerita secara empatik. Logika dan bahasa, metoda dan displin [kerja] di antara keduanya amat berberda, dan harus tetap berbeda agar semakin jelas mana perbe-daan di antara keduanya. dan, akibatnya, [tentu saja] efek akibat membacanya pun akan berbeda. Yang satu deskriptik dan diharapkan emansipatorik menggugah, se-dangkan yang lainnya imajinatif dan diharapkan melahirkan simpati yang empatik.

Selain itu, pada kenyataannya, tempat domisili seorang sastrawan itu tak cuma tempat bernama Cimelas, Cimarahmay, Ciramohpoy, Ranca Ekol, Legok Agul, Pasir Kingkin, atau Gunung Puntang. Sekaligus mobilitas seorang sastrawan itu tidak hanya gerak insidentil dan reguler antara Cimelas, Cimarahmay, Ciramohpoy, Ran-ca Ekol, Legok Agul, Pasir Kingkin atau Gunung Puntang. Tidak hanya yang ber-sipat real dan kongkreit bisa didatangi setiap orang. Ia juga hidup dalam bacaan, sehingga sewaktu-waktu ia bisa pergi ke Cijulang di dalam alam pikir dan teks Rachmat M. Sas. Karana. Atau Cindulang seorang Aam Amalia. Atau Italia dalam teks Acep Zamzam Noor. Amerika wildwest dalam teks Karl May. Ingris masa lalu dalam teks Charles Dicken atau Conan Doyle. Dan panorama Cina klasik dalam teks Kho Ping Hoo. Panorama Jawa klasik dari teks ketoprak, teks SH Mintardja atau Bastian. Dan seterusnya. Dan sebagainya.

Itu tempat untuk berdomisili yang sama kongkrit dan inspiratifnya dengan se-gala tempat yang bernama Cimelas, Ranca Ekol, Legok Agul, Pasir Kingkin atau Gunung Puntang. Belum lagi teks-teks yang ketat dari hasil penelitian sosial, etnografi, antropologi, dan/atau hanya catatan perjalanan dan kisah biografi dan oto-biografi yang terserak di rak-rak buku non-fiksi perpustakaan umum. Itu satu tempat, baik yang real atau yang hanya berupa impresi, baik yang ada di masa sekarang kini atau yang hanya di masa lalu dan telah musnah hanya tinggal kenangan, yang selalu dikunjungi oleh seorang pengarang. Ke mana dan di mana ia melakukan penelitian fiksional atau faktual tak ketat untuk menentukan lokasi, setting, memperkaya karakter dengan ciri budaya dan kecenderungan sosial, dan seterusnya, yang bersipat sangat monokultural. Terkadang ia hanya merujuk ke satu lokasi, dan mencampurkan type karakter dari lokasi lain, dan mempertemukannya dengan ekspresi ciri budaya yang lain, dan karenanya membangun setting yang sangat multi-kultural. Mana bisa, mana suka di alam kebebasab serba mungkin.

Fenomena itu menyebabkan saya sadar bahwa seorang sastrawan bisa pergi ke mana saja dan bisa bermukim di mana saja - meski secara fisik tinggal di Parong-pong. Sekaligus ia sesungguhnya bisa menulis tentang apa saja, secara bagaimana saja, dengan memanpaatkan penelitian partisipasif dan pemahaman empatik tentang konteks tempat berdomisili secara fisik dan mental - selain kemungkinan yang ber-sipat teramat fantasi dan imajinasi. Karena itu seorang sastrawan yang melulu menulis tentang Landeuh Jugala karena lahir di Landeuh Jugala, bagaimana bagusnya pun ia sebenarnya hanya katak dalam tempurung. Meski kelasnya lebih baik dari si remaja yang melulu menulis sajak cinta karena baru jatuh cinta. Seorang sastrawan adalah yang melakukan penjelajahan. Pramudia Ananta Toer, misalnya, dengan Surabaya di masa kolonial. Saini KM, misalnya, dengan para Puragabaya sebagai pa-sukan pilihan di masa Pajajaran akhir. Budi Darma yang memotret manusia kota kesepian Amerika Serikat dalam Orang-orang Bloomington dan Olenka. Atau Ayu Utami, yang memotret kondisi di kilang minyak, Dumai, Blitar, dan New York dalam Saman dan Larung. Kho Ping Hoo yang gentayangan di Cina padahal ia belum ke Cina sebelum menulis epos Bu Pun Su. Dan seterusnya.

Konsekuensi dari semua itu, pada akhirnya, tak mungkin adalah istilah sastra-wan Bandung, sastrawan Jogja, atau sastrawan Surabaya. Karena konsekuensi dari penyebutan itu adalah harus adanya seorang sastrawan Cebek no. 74, RT 01 RW 02, Desa Karamat Mulya, Kecamatan Soreang, dan Kabupaten Bandung sebagai kon-sekuensi ekstrim dari terma sastrawan Bandung - yang hanya mau ditarik ke atas, ke sastrawan Jawa Barat, Indonesia, dan reginal Asean. Yang ada adalah sastrawan Ohoy atau Ehem, yang menulis di dalam bahasa Sunda atau bahasa Indonesia, dengan cerita yang bersetting monokultural Sunda atau multikurtural seorang Sunda di wilayah perbatasan (budaya) Jawa Mataraman dan Jawa Surabayaan. Di titik ini sastrawan Indonesia adalah sastrawan yang menulis dalam bahasa Indonesia, karena identifikasi konteksual berdasar wilayah berdomisilinya akan menyebabkan kegoyahan. Baik dikarena ia menulis secara multikultural. Atau karena si bersangkutan cenderung bergerak dari wilayah kongkrit ke wilayah kongkrit lainnya, serta dari wilayah mental berdasar bacaan ke wilayah mental berdasarkan bacaan berikutnya.

Karena itu tak ada penyair Bandung bernama Soni Farid Maulana atau Juniarso Ridwan, karena yang ada hanya penyair Soni Farid Maulana - yang kelahir-an Tasikmalaya dan besar secara kreatif di Bandung - dan penyair Juniarso Ridwan - yang menempuh pendidikan formal tehnik di ITB dan jadi birokrat Pemda kodya Bandung. Atau penyair Tasimalaya yang bernama Acep Zamzam Noor, karena yang ada itu penyair Acep Zamzam Noor - kelahiran Tasik, menempuh pendidikan formal artistik di ITB, besar secara kreatif di Bandung dan Jogja, dan kemudian ia mukim di pesantren di Tasikmalaya. Yang ada hanya seorang Saini KM yang serba bisa dan khatam sebagai pemikir. Yang ada hanya seorang Ajip Rosidi, inohong Sunda yang lama di Jepang dan kemudian mukim di Magelang - tetap Sun-da meski tinggal dekat ikon pusat budaya-religi Jawa kuno Borobudur. Dan karena sumbangan mereka selalu bersipat individual meski dampaknya mungkin bisa bersipat lokal, nasional atau regional.

Karenanya untuk apa asylum tempat bernama lokasi domisili si sastrawan selain alamat surat, jujugan silaturahmi, dan zona serah-terima honor? Jadi agak mengerikan juga ketika sebuah intitusi seni di Jakarta mengundang sastrawan Indonesia (baca: yang menulis memakai media bahasa Indonesia) untuk berkumpul di Jakarta dengan pemilahan domisili. Ini masuk wilayah Bandung, kecenderungannya puisi, dan saat ini terdiri dari si AIUO, sehingga merekalah yang berhak masuk sastrawan Bandung dalam buku Nun. Ini masuk wilayah domisili Jawa Timur, kecenderungannya puisi, dan terdiri dari AIUO, sehingga merekalah yang berhak masuk kelompok sastrawan Jawa Timur dalam buku Hamzah. Atau buku Wau mewa-kili wilayah domisili Bali dengan para sastrawan bernama AIUO. Dan seterusnya. Kenapa mereka tak disebut saja sebagai sastrawan Bla, Bli, Blo, dan hadir sebagai sastrawan Bla, Bli Blo, dan dimasukkan ke dalam antologi sastra Kum.

Karena bagi sastrawan hanya ada bahasa, untuk mengungkapkan apa-apa yang didalami secara subyektif di dalam sunyi - meski dikonsultasikannya dengan teman, dengan bacaan, dan dengan imajinasi-fantasi. Dan karenanya kita harus mengakuinya dengan identitas bahasa yang dipakai buat mengungkapkan gagasan. Dan mengakui kebesarannya berdasarkan keunikannya ketika mengungkapkannya di dalam dan dengan bahasa di satu sisi dan fenomena ciri subyektif dari apa yang diungkapkannya - yang didalaminya secara diam-diam dalam sunyi - di sisi lainnya. Itu hakekat seorang sastrawan. Seseorang yang secara KTP tinggal di Babakan Kukulutus, tapi senantiasa bergerak dari satu tempat imajiner bacaan ke tempat imajiner baca-an yang lainnya. Memang. Tetapi, yang jadi permasalahan kemudian: Apa namanya perasaan rindu seorang sastrawan kelahiran Babakan Kukulutas ke Babakan Kukulutus, yang kemudian tinggal di Pasir Combrek dan diberi penghargaan seniman Pasir Combrek?

Impuls rindu yang humanistik. Panggilah kontekstual ingin mengungkapkan ih-wal yang diketahui pasti tetapi belum sempat diungkapkan. Atau hanya kecemasan dari seseorang yang diayunkan waktu dan mendadak menemukan pantulan gema dari dinding batas akhir usia. Atau itu sudah memasuki wilayah filsaafat dan sufi, yang berbeda dari tradisi dan disiplin penelitian ilmu sosial dan empati sastra. Saya tak tahu. Dan mungkin harus membaca lagi agar bisa menulis tentangnya secara lebih jernih. Insya Allah.***

HU Suara Karya Minggu, 20 November 2005

Winternacht 1

Theater aan het Spui & Filmhuis Den Haag - Friday, January 29 1999 - 20.30 hrs

with Clark Accord | Arahmaiani | Gibi Bacilio | Breyten Breytenbach | Robert Dorsman | Carl Friedman | Dan Jacobson | Gerrit Komrij | Lebombo Basa | Nenden Lilis | Henk Maier | Soni Farid Maulana | Ensemble Multifoon | Aad Nuis | Soli Philander | Rendra | Agus Sarjono | Loit Sôls | Trevor Steele Taylor | Trio Klaus Kuiper | Dirk Vlasblom | Gert Vlok Nel | Michaël Zeeman

Lokalitas Sastra Indonesia

Oleh BENI SETIA

Definisi sastra lokal mengandaikan satu kesusasteraan yang terkungkung dan dikungkung oleh satu lokalitas. Meski kita sudah terbiasa menerima kehadiran sastra lokal tanpa mempertimbangkan vitalnya aspek eksklusivitas sastra bersangkutan. Bahkan cenderung menerimanya sebagai sesuatu yang inklusif hingga terbuka pada pengaruh asing. Ambil contoh, eksistensi sastra Sunda. Itu pasti bukan sastra yang hanya hadir dalam medium bahasa Sunda dan diumumkan dalam media cetak berbahasa Sunda supaya dibaca oleh komunitas yang terbiasa berkomunikasi dalam dan dengan bahasa Sunda.

Ketika kita membaca sajak-sajak Godi Suwarna mutakhir, meski ia memakai bahasa Sunda secara teramat personal, tapi kita tetap bisa meraba dan meli-hat bayang-bayang pola ekspresi Afrizal Malna. Atau sajaknya Soni Farid Maulana, Kembang Kembangning Simpe, yang mengingatkan kita pada sajak rupa - tetapi bukan rajah atau isim yang khas Sunda. Maka kita tak bisa menyebut itu sebagai sastra lokal Sunda. Semua itu jelas merujuk kepada sebuah pola dan mode estetika dan ekspresi sajak modern Indonesia, meski telah diadaptasikan di dalam dan dengan bahasa Sunda yang bagus - meski kadar Sundawiah Soni Farid Maulana di bawah Godi Suwarna. Dan, ketika kita tak bisa menyebut itu sebagai sastra lokal Sunda, maka kita mengerti kalau lokalitas (sastra) itu tak boleh eksklusif dan harus selalu inklusif.

Terminologi lokalitas yang coba ditekankan secara eksklusif itu selalu dibarengi sikap permisif dan toleran mengandaikan sifat inksklusif - sehingga estetika, ekspresi, idiomatik, kekayaan budaya, seting sosial, filsafat dan seterusnya dari satu komunitas (budaya) bisa beralih dan dipinjam oleh komunitas (bu-daya) lainnya. Ini agar teks sastra mutakhir satu komunitas (budaya) mendapat pengayaan verbal dan substansial. Tetapi apakah itu wajar? Bagi sebagian pelaku sastra (Sunda), hal itu malah dijadikan pertanda kalau energi kreatif sastra atau sastrawan (Sunda) masih dinamis, bisa mengaktualisasi diri hingga lahir trend dan genre baru.

Godi Suwarna atau Soni Farid Maulana, misalnya. Kita juga tahu kalau tidak ada lagi rasa, aroma, substansi dan hakikat Sunda di sana. Bahkan Sunda masa kini, yang secara sosial-politik terdesak oleh dominasi Indonesia (Jawa) dan dunia global.

Isu sastra lokal hanya ada dalam khazanah sastra Indonesia, dan diformulasikan sebagai sastra Indonesia yang terbuka pada realitas para pelakunya (para sastrawan itu) berjejak pada geografis Indonesia yang terkotak-kotak dalam kekayaan budaya suku. Ada Sunda - meski orang Cirebon tidak merasa Sunda dan orang Banten lama mempunyai kejayaan sejarah sendiri. Ada Jawa - yang terpecah dalam wilayah budaya pesisir, Madura, Ujung Timur, dan mungkin Samin dan Tengger. Sehingga, sastrawan Indonesia yang menulis sastra Indonesia dengan bahasa Indonesia berhak menampilkan manusia Sunda dengan seting Bandung atau Sumedang. Atau, seorang sastrawan Pariaman mengungkapkan karakter manusia dan filsafat hidup Minang dalam bahasa Indonesia bagi pembaca non-Minang. Dan, seterusnya.

Lokalitas adalah eksotisme. Sebuah bagian dari genre sastra romantik - sejak setengah abad lalu menggejala di dalam tradisi balada. Sebagai eksotisme, hal itu menjadi semacam kegenitan 'dandyisme' yang menyebabkan sebuah teks sastra tampil kemayu. Setengah tidak dipahami oleh apresiator yang berbeda latar, budaya dan bahasa (ibu) dari si sastrawan, karenanya terpaksa dibuatkan catatan kaki - atau pengantar oleh kritikus apresiatif yang banyak membualkan eksotisme bagi turis.

* *

Ada kecenderungan teks sastra Indonesia tidak bisa gampang dicerna dalam apresiasi awam tanpa membawa bekal referensi budaya lokal. Ada faktor-faktor estetika, ekspresi seni, filsafat, karakter, kekayaan budaya dan seterusnya - yang teramat lokal. Dengan melihat lokalitas Bloomington dalam kumpulan cerpen Budi Darma, Orang-orang Bloomington, atau Orang-orang Pinggiran dan yang Terpinggirkan dalam cerpen Joni Ariadinata, maka kita melihat lokalitas sebagai potensi seting, karakter tokoh, serta kemungkinan konfliks - selain idiom rasa bahasa. Karenanya, lokalitas menjadi kemungkinan menjelajah Nusantara dengan bahasa sebagai pisau analisis dan menjadikan teks sastra sebagai altar per-sembahan eksotisme posmo. Tak lebih dan tak kurang.

Bila tak punya motif menjual eksotisme lokal bagi orang kebanyakan di pasar, kenapa mereka masih memilih bahasa Indonesia? Padahal hal lokal itu akan menggejolak penuh gairah kalau disampaikan dalam dan dengan bahasa daerah. Bukankah sastra lokal akan tampil sangat eksklusif ketika diungkapkan dengan estetika, ekspresi dan bahasa daerah? Seorang Godi Suwarna atau So-ni Farid Maulana lebih mendekati ideal sastra lokal ketika mengadaptasikan yang nasional ke lingkup komunitas suku. Meski secara finansial lebih bagus mengekspor eksotisme lokal ke dunia global dengan bahasa Inggris sehingga kita mendapat julukan maestro posmo.

Tapi apa benar lokalitas (sastra) berhubungan dengan pangsa pasar? Ekslusivitas karya sebenarnya berjiwa inklusif dan memiliki efek finansial? Jadi, selalu ada langit di luar dan langit di dalam diri setiap sastrawan? ***

HU Suara Karya, Minggu, 18 Juni 2006

Penyair-penyair Jawa Timur Terabaikan

Catatan Kecil dari Festival Puisi Internasional

Oleh TJAHJONO WIDARMANTO

SEBUAH pesta kebudayaan baru saja lalu. Selama dua minggu, dari tanggal 1-13 April 2002, di tiga kota di Indonesia (Bandung, Surakarta, dan Makassar) digelar sebuah acara baca puisi antarbangsa yang diberi tajuk Festival Puisi Internasional Indonesia 2002. Festival ini melibatkan 45 penyair dari delapan negara, yaitu empat negara Eropa (Jerman, Belanda, Austria, dan Irlandia), tiga negara Asia (Jepang, Malaysia, dan tuan rumah Indonesia), serta satu negara Afrika (Afrika Selatan).

Indonesia diwakili beberapa penyair dari berbagai daerah, yaitu Jakarta, Jawa Barat (Bandung, Sukabumi, dan Sumedang), Jawa Tengah (Yogyakarta, Magelang, Surakarta), Jawa Timur (Madura), Sumatera, dan Sulawesi. Para penyair itu terdiri dari generasi tua dan generasi muda.

Para generasi tuanya (lahir tahun 1950-an ke bawah), kebanyakan memang sudah melegenda dalam publik sastra Indonesia seperti Rendra, Taufik Ismail, Hamid Jabbar, Abdul Hadi WM, Husni Djamaludin, Sapardi Djoko Damono, Sitor Situmorang, Saini KM, Sutardji Calzoum Bachri, Mustofa Bisri, Zawawi Imron, Zeffry J Alkitri, dan Afrizal Malna.

Sedangkan dari generasi mudanya tampil penyair Acep Zam-Zam Noer, Agus R Sardjono, Cecep Syamsul Hari, Dorothea Rosa Herliani, Joko Pinurbo, Sosiawan Leak, Matori A Elwa, Soni Farid Maulana, Oka Rusmini, dan Nenden Lilis Aisyah. Para penyair yang disebut belakangan ini rata-rata lahir pada tahun 1960-an, bahkan ada yang lahir di tahun 1970-an.

Yang menarik, dari para penyair yang diundang, ternyata Jawa Timur (Jatim) hanya diwakili oleh seorang penyair, dan itu pun tergolong penyair generasi tua, yaitu D Zawawi Imron dari Sumenep, Madura. Sedangkan dari daerah lain rata-rata diwakili lebih seorang penyair, dan terdiri dari generasi tua dan generasi mudanya. Misalnya saja, Jakarta. Selain nama-nama sepuh yang sudah melegenda semacam Sapardi Joko Damono, Rendra, juga tampil nama-nama generasi mudanya seperti Agus R Sardjono, Nenden Lilis.

Juga dari Bandung, selain Saini, tampil pula generasi mudanya (bahkan mendominasi) seperti Acep Zam-Zam Noer, Cecep Syamsul Hari, Soni Farid Maulana, dan sebagainya. Bahkan, dari beberapa daerah justru diwakili oleh generasi mudanya, seperti Surakarta dan Bali. Tentu saja hadirnya generasi muda ini amat membanggakan. Mereka kelak akan menjadi tonggak penting dalam melanjutkan mata rantai sejarah kesusastraan Indonesia.

**

NAMUN, alangkah sedihnya saya, mungkin juga masyarakat pecinta sastra di Jatim, ketika melihat bahwa Jatim hanya diwakili oleh seorang penyair saja. Dan itu pun dari golongan sepuh. Tentu saja tulisan ini tak mempersoalkan sosok D Zawawi Imron yang memang amat pantas dan layak mewakili Jatim dalam even besar itu. Namun, saya amat bersedih saat melihat kenyataan bahwa tak satu pun penyair generasi muda dari Jatim yang tampil mendampingi dan menyertai D Zawawi Imron.

Beberapa pertanyaan bersliweran di kepala saya: Ada persolan apa di peta kepenyairan Jatim, sehingga para penyair mudanya "tak terbaca?" Apakah Jatim tak memiliki penyair-penyair muda yang layak dimunculkan? Sudah terputuskah peta kesusastraan Jatim?

Tiba-tiba, saya teringat nama-nama penyair muda yang tersebar di seluruh Jatim, mulai dari Banyuwangi, Gresik, Lamongan, Surabaya, Mojokerto, Madiun, hingga Ngawi. Ada HU Mardiluhung, Hery Lamongan, Indra Tjahyadi, W Haryanto, Beni Setia, Anas Yusuf, Koespriyanto Namma, Tjahjono Widijanto, dan mungkin masih banyak berserak nama-nama lainnya.

Dari segi kualitas pun, nama-nama yang disebut di atas tak bisa dipandang sebelah mata. Karya-karya mereka sudah tersebar di media kebudayaan bergengsi dari Kalam, Horison, Ulumul Qur'an, Jurnal Perempuan, Perisa, Dewan Sastra (Malaysia), Bahana (Brunei Darussalam), hingga lembar-lembar kebudayaan di Kompas, Media Indonesia, Republika, dan sebagainya. Nama-nama itu berkali-kali juga diundang dalam berbagai acara dan festival kesusastraan semacam Mimbar Penyair Abad 21.

Mengapa nama-nama yang saya sebut di atas "tak terjaring" oleh panitia Festival Puisi Internasional Indonesia 2002 itu? Ketlingsut ke manakah nama-nama mereka itu? Ataukah mereka (pihak panitia) memandang remeh, bahwa Jatim tak lagi mempunyai penyair yang bisa diperhitungkan?

Barangkali saja, para penyair Jatim yang saya sebut di atas tak merasa rugi tidak dilibatkan. Namun, dilihat dari kacamata sejarah sastra, amatlah merugikan. Apalagi dari segi kualitas, mereka amat layak ikut serta dalam even itu.

**

LEBIH menyedihkan lagi melihat kenyataan bahwa Surabaya sebagai ibu kota Provinsi Jatim yang notabene kota metropolis kedua setelah Jakarta, tidak bisa menjadi tuan rumah even kebudayaan bertaraf internasional itu. Ironisnya, hampir setiap tahun Surabaya konon menyelenggarakan berbagai festival yang "dikabarkan" dan "digembar-gemborkan" sebagai festival berkelas internasional.

Ketidakikutsertaan para penyair muda Jatim dan tidak dipilihnya Surabaya sebagai tuan rumah dalam even Puisi Internasional Indonesia 2002 ini menunjukkan bahwa ada persoalan-persoalan serius dalam kesusastraan Jatim, khususnya dan kesenian pada umumnya.

Pertama, tidak adanya pengamat sastra (kritikus) dan media yang bisa membangun citra kesustraan Jatim, yang sanggup "mempromosikan" kesusastraan Jatim. Kedua, para sastrawan (penyair) Jatim tak memiliki strategi kesenian yang tepat untuk menjalin network dengan jaringan kebudayaan lain, baik internasional maupun nasional. Dalam hal ini saya sependapat dengan pendapat rekan Sobrot D Malioboro, yang dalam sebuah bincang-bincang santai mengatakan bahwa para penyair Jatim masih "lugu", masih berkutat pada persoalan proses kreatif dan melupakan bagaimana membangun hubungan yang sehat dan saling menguntungkan dengan berbagai jaringan kesusastraan di wilayah lain.

Ketiga, para birokrat kesenian di Jatim (Surabaya khususnya) dan lembaga-lembaga keseniannya dengan segala macam festival yang pernah diadakannya, belum mampu membangun citra dan imaje dunia sastra (kesenian) Jatim yang sesungguhnya. Mereka masih terjebak dalam penyelenggaraan festival yang bersifat "proyek" demi kepentingan kapitalistik belaka.

Keempat, lembaga-lembaga kesenian semacam Dewan Kesenian Jatim, Dewan Kesenian Surabaya, Taman Budaya Jatim, Galeri 66 dan semacamnya gagal membangun jaringan yang baik dengan link-link kesenian (kebudayaan) lain. Dan yang kelima, lembaga-lembaga kesenian di Jatim kurang optimal melibatkan kalangan akademis utamanya fakultas-fakultas sastra dan seni di Jatim untuk lebih giat membangun ruang publik.

Kalau persoalan-persoalan yang saya sebutkan di atas tak segera diatasi, maka selamanya dunia kepenyairan-kesastraan (juga kesenian!) di Jatim tak akan tergapai dalam perbincangan kesusastraan dunia. Sehebat apa pun sastrawan-sastrawan yang dipunyai Jatim akan tetap tak terdengar! Tetap menjadi marginal!

TJAHJONO WIDARMANTO Penyair, dosen STKIP, dan guru, tinggal di Ngawi.
Selasa, 14 Mei 2002, Kompas Jawa Timur

Membumikan Kembali Sastra Religius

Oleh OYOS SAROSO HN

Sejarah menunjukkan bahwa jejak sastra sufistik sekaligus tragedi sastra di Nusantara sudah ada sejak ratusan tahun silam, jauh sebelum "jabang bayi" negara-bangsa Indonesia dibayangkan oleh para pemuda nasionalis-pejuang. Karena dianggap menyebarkan ajaran tasawuf yang menyesatkan, sufi besar Hamzah Fansuri (1607-1636) dienyahkan oleh Sultan Iskandar Muda. Nasib tragis dialami Fansuri serupa dengan apa yang dialami Al-Halaj. Jejak Fansuri masih tersisa dan tapaknya bisa dirunut sampai sekarang lantaran karya-karyanya masih banyak yang berhasil diselamatkan oleh para pengikutnya. Sejarah kemudian mencatat upaya menghilangkan Fansuri dari sejarah telah sia-sia. Namanya justru harum dan dikenal sebagai sufi besar yang pengaruhnya mencakup seluruh Nusantara.

Kisah Hamzah Fansuri di atas setidaknya menjadi semacam prawacana untuk mendedahkan kembali isu tentang peran sastra sufi-regilius, sastra profetik, atau sastra yang digali dari sumber agama dalam konstelasi sosial-politik. Lebih mikro lagi, untuk menjawab sebuah pertanyaan: perlukah dikotomi sastra sufi-nonsufi? Adakah sastra sufistik itu bagi kehidupan manusia? Di tengah maraknya fenomena pengagungan terhadap lirisisme dalam dunia puisi Indonesia dan pemujaan terhadap mitologi dalam prosa saat ini, saya kira mendedahkan kembali sastra sufistik-religius sangat relevan. Setidaknya, bisa mengurangi salah paham tentang sastra sufi atau sastra religius. Lebih jauh lagi, sastra religius diharapkan tidak terus ditempatkan dalam ruang sempit yang mungkin tanpa udara.

Para penerus
Setelah Fansuri, jejak sufistik-religius masih tampak pada Amir Hamzah. Selanjutnya, dalam telikungan polemik tentang estetika Barat atau Timur yang akan dianut para sastrawan dan pemikir, sastra sufistik tak begitu bergaung. Jejaknya menampak lagi setelah Abdul Hadi WM dengan sangat telaten kembali memungut remah-remah sejarah dan mengonstruksikannya ke dalam sebuah wacana dan proses kreatif pada dekade 1980-an. Lewat Harian Berita Buana, Abdul Hadi WM rajin "mengampanyekan" apa yang diyakininya sebagai upaya "menuju ke Sumber". Sumber yang dimaksud tak lain adalah jalan sufi, tasawuf, jalan Tuhan.

Geliat sastra sufistik-religius tampak jelas dalam dekade 1970-an, meski pembangunan wacana sastra sufistik sendiri baru gencar dilakukan pada dekade 1980-an oleh Abdul Hadi WM. Ketika itu Abdul Hadi memang hanya memfokuskan diri pada regiusitas-sufistik. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, wacana sufistik yang bergulir sejak 1980-an itu kemudian mendapatkan banyak pengikut dan lebih cair. Generasi 1970-an yang karya-karyanya memiliki kekuatan sufistik-religius dalam barisan ini tentu adalah Abdul Hadi WM, Danarto, Kuntowijoyo, Sutardji Calzoum Bachri, Emha Ainun Nadjib, Hamid Jabbar, dan M Fudoli Zaini. Juga generasi 1980-an, antara lain adalah Ahmadun Yosi Herfanda, Isbedy Stiawan ZS, Soni Farid Maulana, Acep Zamzam Noor, dan Endang Supriyadi. Termasuk dalam barisan ini adalah KH Musthofa Bisri, yang meskipun seusia Danarto tetapi lebih dikenal sejak era 1980-an.

Beberapa penyair dan cerpenis pun kemudian sempat "ditasbihkan" sebagai sastrawan sufistik dan memiliki karya yang dianggap masterpeace. Puisi Tuhan, Kita Begitu Dekat/ karya Abdul Hadi WM dan sajak Sembahyang Rumputan-nya Ahmadun Yosi Herfanda, misalnya, sangat kuat dimensi sufistiknya dan sering dijadikan puisi wajib dalam pelbagai lomba baca puisi. Demikian juga dengan cerpen Kecubung Pengasihan-nya Danarto, banyak dieksplorasi oleh kelompok-kelompok teater di Tanah Air untuk dipentaskan. Danarto menjadi perbincangan cukup luas terutama setelah karya masterpeace-nya, Godlob (1975), dinilai kritikus membawa warna baru dalam estetika sastra Indonesia. Sifat-sifat sufistik juga masih sangat kuat dalam karya-karya Danarto lain yang terkumpul dalam Adam Makrifat (1982), Berhala (1987), Gergasi (1996), dan Setangkai Melati di Sayap Jibril (2000). Juga dalam novelnya, Asmaraloka (1999). Hingga kini, Danarto dan sastrawan yang melahirkan karya-karya sufistik-religius dari generasi pertama masih terus menulis dan mempublikasikan karya.

Generasi 1990-an yang karya-karyanya mengandung nilai religius yang kuat antara lain Radhar Panca Dahana, Ahmad Nurullah, Jamal D Rahman, Abidah el Khalieqy, Abdul Wachid BS, Ahmad Syubbanuddin Alwi, Eddy A Effendi, Tjahjono Widarmanto, Tjahjono Widianto, dan Moh Syafari Firdaus. Termasuk dalam generasi terbaru adalah Helvy Tiana Rossa, dan Amin Wangsitalaja (teruma sajak-sajak awalnya). Bagaimana dengan generasi 2000-an? Ini agak aneh. Meski banyak penyair, cerpenis, dan novelis baru bermunculan pada era 2000-an, kita agak sulit menemukan penulis baru yang intens menulis karya-karya sufistik-religius dari generasi ini. Yang muncul justru menguatnya lirisisme yang membangun puisi-puisi romantik.

Penyair yang memiliki kekuatan lirik di paruh awal tahun 2000-an hingga kini antara lain Raudal Tanjung Banua, Jimmy Maruli Alfian, dan Dina Oktaviani. Sayangnya, tema-tema yang mereka garap umumnya masih seputar romantisme. Mereka melanjutkan tradisi lirik Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Soni Farid Maulana, Sitok Srengenge, Agus R Sarjono, dan Zen Hae. Sementara di dunia prosa, yang cukup menjanjikan antara lain Puthut EA, Eka Kurniawan, Raudal Tanjung Banua, dan Zen Hae. Yang perlu mendapatkan catatan adalah booming estetika puitik model Afrizal Malna yang melahirkan apa yang disebut sebagai Afrizalian pada tahun 1990-an ternyata tidak membuat karya-karya religius surut. Dunia sufistik-religius seolah menjadi sumur yang tak pernah kering untuk terus digali oleh para sastrawan Indonesia hingga hari ini.

Pertanyaannya kemudian, mengapa setelah lebih dari dua dasa warsa menjadi perbincangan publik sastra tetapi hingga hari ini perdebatan tentang sastra sufistik-religius belum selesai? Seolah-olah di rimbun wacana sufisme dan religiusitas tersimpan misteri. Mungkin akibat salah proses pembacaaan. Mungkin juga tersebab oleh proses membaca yang belum tuntas. Kesalahan membaca, misalnya, terjadi dalam acara Temu Sastrawan Mitra Praja Utama (MPU), yang diadakan oleh Forum Kesenian Banten serta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, di Hotel Patra Jasa Anyer, 26-29 Juli 2004. Dalam forum itu, Binhad Nurohmat menolak adanya dikotomi sastra religius dengan sastra-nonreligius. Penolakan yang kemudian diluruskan oleh Abdul Hadi dan Ahmadun itu, menurut saya, disebabkan oleh simplifikasi pandangan Binhad tentang sastra religius.

Dua tahun lalu, penolakan yang hampir sama juga dilakukan oleh Ribut Wijoto (Situs Jaringan Islam Liberal, 20/1/2002). Menurut Wijoto, tak ada sastra religius. Sebab, katanya, regilius berada di dataran etika, sementara sastra berada di tataraan estetika. Menurutnya, religi-etika menciptakan pagar, sedangkan sastra-estetika membongkarnya. Sastra merayakan kerapuhan sedangkan religi memperkokohnya kembali. Pendapat Binhad dan Ribut Wijoto mengandaikan bahwa sebagai manusia kreator, sastrawan berada dalam ruang yang terbagi. Padahal, realitasnya, manusia merupakan makhluk monodualis. Ia terdiri atas badan dan jiwa yang tak mungkin dipisahkan. Konsekuensinya, jika menuruti alur pikiran Binhad, maka seorang sastrawan sufi-religius dalam kehidupan sehari-hari (setiap saat) harus selalu religius. Ia harus berada dalam dunia para sufi, yang melakukan pengasingan diri dari hiruk-pikuk manusia.

Salah satu inti ajaran tasawuf yang diajarkan pada sufi adalah wahdatul wujud (menyatunya hamba dengan Tuhan). Itulah puncak ekstase, mabuk paling puncak yang dirindukan para penganut jalan sufi. Lantaran manusia mengandung unsur badan dan roh (material dan spiritual), maka tak mengherankan jika Mohamad Iqbal dan YB Mangunwijaya mengatakan bahwa semua karya sastra pada dasarnya adalah religius. Pendapat Iqbal dan Romo Mangun dipertegas oleh filosof Islam, Shadr Al-Muta'alihin Asy-Syirazi. Menurut Asy-Syirazi, antara material dan spiritual tidak ada garis pemisah. Keduanya merupakan dua tingkap "keberadaan". Meskipun roh itu nonmaterial, ia memiliki hubungan material. Sebab, ia adalah tahap tertinggi penyempurnaan materi dalam gerak subtansialnya. Menurut Asy-Syirazi, ruh yang merupakan sisi nonmaterial manusia adalah produk gerak. Adapun gerak itu sendiri merupakan jembatan antara materialitas dan spiritualitas.

Akhirnya kita juga bisa memahami mengapa seorang sastrawan tidak bisa mengabdikan sepenuh hidupnya untuk menciptakan karya-karya religius. Sebab, selain malaikat dan para Rosul, manusia adalah makhluk yang dhoif. Meski begitu, ada beberapa manusia yang dikarunia kemampuan lebih untuk melakukan penyatuan diri dengan Allah. Sastrawan pada dasarnya seorang perindu. Baik terhadap hal-hal yang kasat mata maupun pada hal-hal yang bersifat Ilahiah. Itulah sebabnya, Rintrik, tokoh Danarto dalam cerpen Kecubung Pengasihan, tak malu-malu mengatakan bahwa ia rindu syahfat yang besar, yakni bertemu dengan Allah. Nah, bukankah selama ini banyak penyair dan cerpenis Indonesia yang mengungkapkan kesatuan-kerinduan-Nya dengan Khaliqnya?

Sampai pada titik ini, semestinya debat panjang tentang ada tidaknya sastra religius dan seberapa besar pengaruh sastra religius bagi kehidupan bisa diakhiri. Sudah saatnya pengertian sufisme dan religiusitas dalam karya sastra lebih dicairkan sehingga tidak terus membeku dalam ruang sempit lantaran berada dalam tataran hablumminallah. Tataran itulah yang selama ini menjadi acuan kunci para sastrawan sufistik semacam Jallaludin Rummi, Fariduddin Attar, Rabiah Al Adawiyah, Ibnu Arabi, dan Hamzah Fansuri.

Selain hubungan yang bersifat transenden yang dibungkus bingkai hablumminallah, sejatinya manusia masih berpijak dalam kehidupan riil dan harus mengembangkan hubungan yang lebih bersifat hablumminannas (hubungan dengan sesama makhluk dan manusia). Jadi, setelah jejak sufistik dan religiusitas diretas dalam waktu yang begitu panjang, sudah saatnya kini kita kembali membumikan sastra sufistik. Apa yang dilakukan Afrizal Malna dengan menengok kembali ke kampung halaman dan bersentuhan langsung dengan problem-problem sosial masyarakat desa, saya kira, merupakan salah satu upaya untuk kembali ke Sumber. Yakni sebuah akar "kesejatian manusia".

Kesempurnaan manusia sejati adalah ketika dia mampu mengagregasikan kasih sayang, sikap rendah hati, kearifaan, kedermawanan ke dalam dirinya. Semua itu bisa dilakukan oleh sastrawan lantaran mereka memiliki kekuatan olah batin dan kemampuan menaklukkan bahasa Namun, upaya itu bukanlah masalah gampang. Sebab, banyak sastrawan muda yang kini tertular penyakit lama: sudah merasa besar dan tak perlu belajar lagi. Asal bersuara lantang dan bicara aneh maka "sastrawan besar" itu akan ditengok orang dan dicap sebagai pembaru estetika!***

Penulis, penyair dan penikmat sastra
HU Republika, Minggu, 07 Nopember 2004

Festival Teater Kampus IKIPN Singaraja Mengolah Puisi dalam Panggung Mahasiswa

Karena puisi, seorang lelaki dan seorang perempuan yang mungkin baru pertama kali bertemu akhirnya merasa begitu akrab. Merasa punya kemiripan masa silam dan masa romantis yang memiliki hubungan sebab-akibat begitu lekat. Karena puisi, sepasang lelaki-perempuan merasa punya nasib yang sama, kesedihan, rasa geram, kebencian, ketakutan dan pemberontakan yang sama kepada tirani penindas yang serupa di negeri yang berwajah lembut bagai bayi, bertangan halus dan bersih, seakan-akan terbebas dari dosa.

BEGITU esensi dari naskah teater "Orang Malam", sebuah lakon pendek karya Soni Farid Maulana yang dipentaskan dengan cukup berhasil oleh Teater Kulit dalam Pestival Teater Kampus di Aula IKIP Negeri Singaraja, Jumat (26/9) malam. Keberhasilan grup teater dari mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia Fakultas Seni dan Bahasa IKIPN Singaraja ini terlihat dalam interpretasi naskah, terutama dalam pencernaan kalimat-kalimat puitis untuk dipanggungkan menjadi tontonan yang memikat.

Soni Farid Maulana, salah seorang sastrawan Indonesia terkemuka saat ini, memang dikenal sebagai penulis naskah drama yang sarat dengan dialog-dialog puitis karena ia sendiri kerap juga menulis puisi dan kritikus sastra. Kalimat-kalimat Soni bukanlah dialog realis yang bisa dicerna dalam sekali dengar sehingga memerlukan penataan yang serius dalam olah voKal dan membutuhkan dukungan serius pula dari gesture, mimik dan bloking yang mamadai.

Kisah ini dimulai saat Kimung (lelaki yang diperankan Sumita Adnyana) mengabarkan penantian 750 tahun di sebuah taman kota. Sebuah kesepian yang panjang. Malam selalu bersambung malam, dingin dan sepi bagai sebutir batu di dasar kali. Ia ingat seorang perempuan yang sempat ditemui dan kemudian berpisah pada suatu saat sehabis kerusuhan. Perempuan itu bernama Dirah (diperankan Wiliani), seseorang yang kelak diketahui sempat menjadi korban sebuah tirani. Masuk ke taman kota, mereka bertemu di taman kota itu. Lalu saling mengingatkan dengan puisi-puisi tentang cinta, kesepian, penindasan, kerinduan, yang dulu pernah mereka tulis. Keduanya bercerita tentang masa lalu yang pekat oleh bau pesing penjara, desing peluru, lemparan batu, aroma darah perkosaan dan peristiwa pahit di sebuah negeri yang berwajah bersih. Sebuah negeri yang mereka huni sejak 750 tahun lalu.

Kekuatan puisi dalam naskah Soni dibangun dalam kalimat yang penuh ide dan perenungan filosofis. Dan sutradara Ayu Supendi tampaknya sudah sangat berupaya mengolah kekuatan puisi untuk diperkenalkan dalam tata panggung yang memikat. Meski pada awalnya permainan Kimung (lelaki yang diperankan Sumita Adnyana) dan Dirah (perempuan yang diperankan Wiliani) tampak hambar dengan dialog (atau monolog) yang kurang menggigit. Namun setengah pementasan terakhir, dua pemain utama ini menampilkan pementasan puisi yang memukau.

Klimaks dari keberhasilan dua pemain ini tampak pada adegan penutup. Kimung dan Dirah saling menggapai, sebuah peristiwa puitik ketika kerinduan hendak ditumpahkan dari kubang penantian beratus-ratus tahun. Adegan ini dibangun ketika Dirah merangkak dari bawah panggung dan Kimung tergerus dari atas, lalu keduanya bertemu di bibir panggung. Pementasan ditutup ketika Dirah tak benar-benar sampai di atas dan Kimung tak sungguh-sungguh terjerumus ke bawah. Cukup mengesankan.

Pengetahuan Dasar
IKIPN Singaraja cukup beruntung memiliki Hardiman, dramawan dosen yang intens melakukan kegiatan pelatihan dasar teater kepada mahasiswanya. Sebagian besar pelatihan dasar teater yang diajarkan Hardiman inilah yang dijadikan modal bagi kelompok teater mahasiswa yang ikut meramaikan Festival Teater Kampus Seribu Jendela ini. Terdapat enam grup yang dipentaskan sejak Senin (22/9) hingga Minggu (28/9) ini, yang seluruhnya menampilkan pementasan yang hanya mengandalkan spekulasi dramatik, tanpa mempertimbangkan unsure-unsur penting dalam teater.

Hanya Teater Kulit tampaknya memiliki pengalaman yang lebih banyak dalam olah panggung ketimbang grup lainnya. Namun karena naskahnya cukup berat untuk ukuran kelompok yang hanya sekali-kali saja melakukan pementasan, toh terdapat sejumlah kelemahan, terutama dalam bloking yang melulu vertikal -- meminjam istilah Hardiman -- sehingga ceritanya nyaris terdengar tanpa konflik. Tak ada upaya membangun fokus ketika terjadi dialog antara Kimung dan Dirah, misalnya dengan mendekatkan kedua tokohnya dalam adegan teatrikal yang mengental, membulat dan padu.

Dalam hal ini sutradara menerapkan siasat keliru, seperti diungkapkan dalam dialog dengan penonton usai pementasan. Sutradara mengaku sengaja melakukan bloking vertikal karena ingin mengacaukan konsentrasi penonton untuk di bawa ke dalam fokus yang dianggapnya lebih penting pada akhir pementasan. Tapi sutradara tak berpikir, bagaimana kalau penonton keburu beranjak dari tempat duduk sebelum sempat menyaksikan adegan terakhir? (Adyana Ole)

HU Bali Pos, 28 September 2003

Potret Sosial "Variasi Parijs Van Java"

Oleh LUKMAN ASYA

Sabda Goldmann (1973) dalam konteks pembacaan sosiologi sastra saya jadikan sebagai kerangka sandaran dan acuan dalam melakukan pembacaan terhadap puisi Soni Farid Maulana dalam konteks sosial yang berdasarkan pada fakta-fakta historis.

Puisi Soni itu terdiri dari 54 bait dan 183 larik, berjudul Variasi Parijs van Java, terdapat dalam antologi puisi Variasi Parijs van Java (Kiblat, cetakan 1, Februari 2004). Soni Farid Maulana tidaklah seorang diri dalam menyoal Bandung sebagai Parijs van Java. Proses trans-individualnya sebagai subyek lirik yang cermat "berdialektika" dengan lingkungan sosialnya antara kesadaran humanisme dan gempuran pembangunanisme-sebagai tangan kanan kekuasaan-begitu industrialistik.

Tempo doeloe, Ramadhan KH pernah menyoal lingkup Kota Bandung secara narsistik melankolik dalam puisi-puisinya yang terkumpul dalam antologi puisi Priangan Si Jelita. Di sana digambarkan suatu kondisi alam yang elok, sawah-sawah yang menerbitkan rasa damai, pegunungan-pegunungan yang indah, dan hawa udara yang sejuk. Kemakmuran dan kegemburan menjadi tanda dan petanda.

Gambaran alam sosial yang dilukiskan Ramadhan KH itu memang tinggal kenangan. Faktanya, kini telah banyak terjadi perubahan. Fakta itu diperkuat suatu varian pandangan dan pembacaan Soni sebagai penyair dalam puisinya tentang Parijs van Java. Bahkan kenangan alam yang elok itu kini cuma kekal di "buku-buku tua". Salah satu buku yang mengekalkannya adalah yang ditulis Haryanto Kunto, Bandung Tempo Doeloe. Di buku itu segala peristiwa dan keadaan menjadi semacam resminisensi.

Terkontaminasi ambisi

Sebagai penyair terlibat, Soni Farid Maulana adalah subyek lirik yang gundah, menohok langsung kondisi Bandung yang kini sudah terkontaminasi ambisi, nafsu, dan mabuk kekuasaan sehingga Bandung telah kehilangan keparijs-van-javaannya.

Bandung menjadi kota yang penuh gedung-gedung dan mal-mal tanpa memperhitungkan keindahan arsitekturnya. Bandung menjadi bukan si jelita lagi akibat suatu pola kebijakan. Bandung menjadi mirip janda setengah baya dengan jerawat dan bercak-bercak yang tumbuh di wajah dan badan.

Kondisi sosial dapat memengaruhi alam kesadaran manusia. Manusia di satu pihak adalah yang menyebabkan kondisi itu, dan di pihak lain adalah akibat yang mengandung "warna dan goresan hitam maupun putih" sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya dalam tingkatan status sosial.

Kondisi dan suasana yang telah berubah itu dapat menyeret manusia sebagai makhluk sosial ke dalam anxiety, suatu kondisi kecemasan yang impasse. Manusia terkepung antara pembangunanisme dan susahnya mengendalikan diri karena kondisi itu seakan diplot oleh angkuhnya kekuasaan dan kebijakan yang tak memperhitungkan ruang- ruang publik.

Lebih jauh, Soni dalam puisinya itu mengajak pembaca untuk membuka mata batin bahwa perubahan dari masyarakat agraris ke masyarakat industri memang menyisakan harapan dan kecemasan. Harapan mempertahankan tradisi agraristik ternyata bukan sesuatu yang mudah manakala tangan-tangan industri begitu angkuh mengajak untuk ikut serta dalam perubahan. Kita dapat merasakan getaran perubahan dalam bait puisi berikut ini, yang melanda tatanan sosial kemanusiaan. "...Dari Cimahi hingga Cileunyi/ masihkah si Leungli jadi pengantar/ tidur anak-anak? Kau bilang Doraemon/ melahap kepala dan ekornya yang gurih// sedang badannya disantap Superman,/ Tom & Jerry, dan Asterix dalam jamuan/ hiburan anak-anak, lewat saluran televisi/ kau dengar desah nafas Lutung Kasarung// dari tumpukan buku-buku tua,/ kotor, dan berdebu? Dari malam ke malam/ Parahyangan mengalun dalam irama// kota besar, disungkup bayang-bayang/ tajam pisau orang-orang lapar/ gentayangan sepanjang jam berputar...".(bait 13, 14, 15, dan 16).

Kian sumpek

Soni Farid Maulana sebagai yang hidup dan menghidupi Kota Bandung tentu dengan segala keinsafannya sebagai penyair telah memergoki kondisi lingkungan sosial Kota Bandung yang konsumtif dan kian sumpek saja, yang membuat dirinya mengalami kegundahan. "...Lewat Cigondewah genangan air,/ jalan berlobang sehabis hujan, adalah potret dunia ketiga. Hijau pesawahan diusir perumahan/ kicau burung-burung hanya patahan huruf// dicetak dalam buku cerita kanak- kanak. Begitulah,/ lewat Cihampelas, kicau burung-burung di antara/ rimbun pepohonan sudah lama pergi diusir gelegar/ pengeras suara yang dihuni lagu dangdut, rock,// dan jazz dari jajaran pertokoan yang menjual/ jeans dan kaos oblong. Kota Kembang, di manakah/ taman bunga? Ah, hanya mawar hitam yang// bermekaran sepanjang malam di ruas-ruas/ jantung kota. Selebihnya alir Cikapundung, bukan alun Seine di bawah le pont Mirabeau// antara Patenggang-Jayagiri// masihkah nyanyian alam dilantunkan/ desau rumputan, risik dedauanan/ dan suara-suara serangga malam?// antara Dayeuh Kolot-Cimahi dan Cileunyi/ masihkah geletar udara segar/ bagai sehampar hijau daun padi dimainkan/ angin? Masihkah pemilik negeri ini// rakyat yang ramah, saling sapa/ dengan senyum dan salam? Siapakah/ yang mengetuk pintu digelap malam// seradak-seruduk bagai babi hutan/ menyikat lahan orang? 'mabuk lagi, ah. Mabuk lagi...' Amis darah sengit sudah// di gelap malam aku mendengar/ Harry Roesli memetik gitar dan tersedu/ 'jangan menangis Indonesia,' katanya. Parahyangan/ bermantel kabut, dingin bagai raga tanpa nyawa// dari Cicaheum, Kebon Kalapa, hingga Leuwipanjang/ aku mendengar lagu orang-orang pinggiran dilantunkan/ tiang listrik dan warung kaki lima; negeri ini milik siapa?/ tajam belati tak puas-puasnya nenggak berlabu darah// sedang di pusat kota hiburan malam/ digelar orang dalam bangunan beton dan baja,//...." (bait 17-27).

Bandung sebagai kota belakangan ini ditengarai oleh suatu kebijakan pemerintah kota yang mencanangkan Bandung sebagai kota bunga. Secara kinematik niatan pemerintah kota itu secara serius berarti keinsafan dan kesadaran dalam melaksanakan falsafah "Bandung bersih, hijau, berbunga" yang pada akhirnya tidak menjadi sekadar plang penghias jalan di antara reklame-reklame iklan.

Kebijakan pemerintah kota itu sebagai niatan yang insya Allah mendatangkan berkah dan kebaikan sosial. Mengembalikan Bandung kepada martabat semula sebagai Parijs Van Java yang berbunga adalah cita-cita yang perlu mulai direspons oleh kesadaran semua pihak dan perlu didukung oleh arah kebijakan lainnya yang memungkinkan Bandung kian tertata.

Kesimpulannya, via puisi Variasi Parijs van Java yang ditulis penyair Soni Farid Maulana, kita dapat merasakan ihwal keberlangsungan Bandung dalam konteks humanitas dan sosial, di mana etos kesunyataan puisi sang penyair Soni adalah motif kesungguhan yang mengandung berkah. Berkah puisi di atas adalah hadirnya spirit dan inspirasi untuk reorientasi menciptakan suatu tatanan lingkungan dan kehidupan sosial yang lebih baik, menuju hari yang akan datang, di mana anak cucu tumbuh dengan kondisi lingkungan yang terjaga dan lestari. Mungkinkah?

LUKMAN ASYA Mantan Ketua Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) Universitas Pendidikan Indonesia
HU Kompas Jawa Barat, Selasa, 12 September 2006

Soni dan ”Secangkir Teh”

Judul Buku: Secangkir Teh
Penulis: Soni Farid Maulana
Kata Penutup: Yasraf Amir Piliang
Tebal: ix + 151 Halaman
Cetakan I: 2005
Penerbit: PT Grasindo, Jakarta

Oleh FLORA AGUSTIN

DALAM kata penutup antologi puisi "Secangkir Teh," Yasraf Amir Piliang menulis, puisi-puisi Soni Farid Maulana di dalam kumpulan "Secangkir Teh" ini, sarat dengan ajakan refleksi dan kontemplasi, yaitu ajakan memahami makna hidup, di dalam dunia masa kini yang semakin jauh dari tanda-tanda ketuhanan. Pintu gerbang yang dimasuki Soni dalam memahami jejak-jejak ketuhanan adalah pintu gerbang cinta, dalam pengertiannya yang paling luas. Cinta merupakan kekuatan puisi Soni, dalam pengertian bahwa melalui metafora-metafora cinta dalam cakrawala yang luas itu, makna-makna religiusitas dapat dihayati secara mendalam.

Tema religius dalam pengertian yang luas dalam konteks cinta, memang merupakan tema puisi garapan penyair Soni Farid Maulana. Pengamat sastra Korrie Layun Rampan dalam bukunya Angkatan 2000: Dalam Sastra Indonesia (Grasindo, 2000) juga mengatakan hal yang sama. Ini artinya, jejak-jejak religiusitas di dalam puisi-puisi Soni bisa dibaca dengan jelas, dan bahkan bisa dilacak sejak ia menulis puisi pada tahun 1976 lalu.

Soni Farid Maulana adalah penyair yang pada masa pertumbuhannya dibesarkan oleh HU Pikiran Rakyat, lewat rubrik ”Pertemuan Kecil” yang diasuh oleh Saini KM pada awal tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an. Selain Soni, dua kumpulan puisi sebelumnya dari Bandung yang diterbitkan oleh Grasindo adalah Saini KM lewat antologi puisi Nyanyian Tanah Air (2000) dan Acep Zamzam Noor dengan antologi puisi Jalan Menuju Rumahmu (2004). Pada tahun 2005 buku puisi Acep tersebut mendapat aungerah SEA Write Award dari Kerajaan Thailand dan juga hadiah sastra dari Pusat Bahasa, di Jakarta.

Jika Yasraf Amir Piliang mengatakan bahwa tema cinta merupakan kekuatan puisi Soni, persoalan cinta yang terdapat di dalamnya jauh dari kesan erotis dan vulgar. Yang hadir justru kesan romantis dan bahkan mistis seperti dalam sebuah puisinya di bawah ini, yang diberi judul ”Parfum Maut” (1987). Isi dari puisi tersebut berbunyi: di atas ranjangmu aku berbaring/angin dingin berhembus/menaburkan mimpi hitam kota besar/seketika bagai kucing lapar dan liar//kau terkam tubuhku tanpa ampun/malam ngalir ke jantungku/bagai cairan infus; dan engkau mengeluh/saat lolong anjing menyeruak dari dasar kuburan.//”apa yang terjadi, apa yang tengah terjadi?/parfum maut yang kuambung/mendesak kita ke arah yang kelam?”//ranjang hanya sunyi. Endapan duka/mengental di dasar jiwa/bergetah sepi//.

Kekuatan cinta yang ditulis dalam puisi-puisinya ini, tidak hanya membayang dalam sejumlah puisi yang bernuansa mistis, tetapi juga membayang dalam sejumlah puisi lainnya, baik yang bersinggungan dengan masalah sosial, religius, dan bahkan maut. Semua itu bisa ditangkap dengan mudah — karena Soni dalam menulis puisi-puisinya tidak menggunakan kata-kata maupun daya ungkap yang rumit. Ia menulis dengan cara yang sederhana. Namun demikian makna yang dikandung di dalam puisi-puisinya tidak sesederhana apa yang ditulisnya.

Pengamat sastra Prof. Dr. Suminto A. Sayuti mengatakan bahwa lirisisme dalam karya-karya Soni cenderung menggapai makna ke-aku-an, tetapi tetap dalam modus ke-kita-an, yakni kebersamaan antara aku dan kau, I and Thou dalam istilah Martin Buber.

Diksi kau dan aku dalam puisi-puisinya ini memang hadir dengan posisi yang tidak hanya merujuk pada aku dengan a huruf kecil, tetapi juga Aku dengan a huruf kapital. Karena itu tak aneh kalau Prof. Dr. Suminto A. Sayuti dalam membaca puisi-puisi Soni Farid Maulana harus masuk ke rimba filsafat Barat dengan menjenguk Martin Buber sebagai bahan rujukannya.

Di dalam antologi ini, Soni menulis juga sejumlah puisi dengan latar belakang luar negeri. Sejumlah puisinya yang bertema musim dingin, baik mengenai Paris, Den Haag, Leiden, dan sejumlah tempat lainnya di Eropa — telah memberikan sebuah pengalaman baru, tentang kerinduan dan keterasingan yang bergaung di dalam batinnya. Dua puisi yang cukup menggetar antara lain berjudul Di Negeri Salju yang didedikasikan kepada Rendra, dan Berjalan di Pinggir Sungai Seine yang dipersembahkan kepada kekasihnya tercinta, Heni Hendrayani. Kedua puisi tersebut ditulis pada tahun 1999. Pada tahun itu, Soni memang berkesempatan ke luar negeri, ke Belanda, mengikuti Festival de Winternachten bersama Rendra, yang setelah itu dilanjutkan ke Paris. Di dalam puisi-puisinya, tema cinta hadir pula dalam konteks sosial-politik yang pedih, yang berkait erat dengan ingatan-ingatannya yang menukik ke tanah air.

Paling tidak, membaca antologi puisi "Secangkir Teh" yang ditulis sepanjang 1982-2004 adalah membaca panorama batin Soni Farid Maulana dalam menulis puisi. Sebagai penyair, Soni tidak hanya dikenal di Indonesia saja. Tetapi juga di luar negeri. Ia telah mampu menempatkan dirinya dalam sebuah wilayah yang dikenal orang. Bahwa apa yang ditulisnya terasa ada kekurangan atau kelebihan, adalah suatu yang wajar. Saya yakin, Soni tidak akan puas hanya dengan Secangkir Teh. Ia pasti telah menyiapkan sejumlah puisi lainnya. Rendra bilang, Soni adalah penyair yang berkembang dengan pesat, yang terus mencari kesempurnaan pengucapan bagi puisi-puisi yang tengah ditulisnya.***

Penulis penikmat sastra.


Senin, 09 Januari 2006, HU Pikiran Rakyat

Finalis Khatulistiwa Literary Award 2005-2006

Prosa :

1. "Foto dan Senggring" (Budi Darma)
2. "Kincir Api" (Kurnia Effendi)
3. "Mandi Api" (Gde Aryatha S)
4. "Ular Keempat" (Gus tf)
5. "Filosofi Kopi" (Dee Lestari)

Puisi :

1. "Daging Akar" (Gus tf)
2. "Semua Telah Berubah, Tuan" (Juniarso Ridwan)
3. "Sehampar Kabut" (Soni Farid Maulana)
4. "Seorang Pejalan dari Hadrami" ( Jefry Alkatiri)
5. "Meditasi di Borobudur (Urip)"
6. "Santa Rosa"(Dorothea Rosa Herliany)

Pemenang Khatulistiwa Literary Award 2005-2006

Prosa: "Mandi Api" (Gde Aryatha S).
Puisi: "Santa Rosa" (Dorothea Rosa Herliany)

International Literary Biennale 2005

26 Agustus 2005 - 03 September 2005

Prolog

International Literary Biennale 2005 ini merupakan program lanjutan dan perluasan dari dua festival yang sebelumnya telah diselenggarakan Komunitas Utan Kayu, yakni Internasional Poetry Festival (2001) dan International Literary Festival (2003). Ketiga festival yang nyaris serupa ini menggunakan nama yang terus berganti, menandaskan keberlanjutan sebuah proses, bahwa setiap event merupakan tahap belajar yang belum final. Sungguh membahagiakan bahwa festival sastra bertaraf internasional—sebuah kesederhanaan yang ‘mewah’ dan tidak mudah—untuk ketiga kalinya dapat terselenggara di Indonesia.

Mulai sekarang kami menyebut festival ini sebagai ‘International Literary Biennale’ dengan sejumlah alasan. Pertama, ketiga festival secara kontinyu terjadi setiap dua tahun sekali. Kedua, terjadinya perluasan genre; yang semula hanya puisi, kini merambah ke prosa dan drama. Festival ini pun tidak hanya mengusung karya dan penulis dari khasanah sastra modern, melainkan juga—dalam porsi yang terbatas—menyelipkan tradisi lisan yang nyaris punah. Ketiga, penyelenggaraan dua festival sebelumnya telah menjadi pelajaran berharga yang menguatkan keyakinan dan meningkatkan kesanggupan kami untuk melaksanakan festival keempat pada tahun 2007 nanti.

Pelbagai faktor dari luar wilayah sastra kadang menjadi hambatan. Salah satunya adalah isu terorisme. Pada festival lalu, sejumlah calon peserta membatalkan kesertaannya setelah bom meledak di sebuah hotel di Jakarta. Terorisme yang acap dikaitkan dengan dunia Islam pun turut menyumbang kesan yang kurang menguntungkan: Indonesia bukan tempat yang aman. Prasangka semacam itu justru makin meneguhkan niat kami untuk tidak berhenti mewujudkan festival ini. Adanya beragam faktor yang memengaruhi hanya menandaskan bahwa sesungguhnya sastra tidak pernah sendiri.

Kami sadar, Indonesia bukan negara yang bebas dari konflik internasional. Banyak persoalan di dalam dan di luar negeri telah pula melibatkan Indonesia ke dalam ketegangan dunia. Perebutan pulau-pulau kecil di dekat perbatasan Indonesia-Malaysia, kenangan buram yang berkaitan dengan Timor Leste, jalinan kemesraan dan kecurigaan Indonesia-Australia, juga konflik di Aceh dan Papua yang menjadi percaturan politik di Eropa dan Amerika.

Sebab itu, melalui festival ini, kami mengundang para penulis—para penjaga hati nurani—bukan saja dari negara tetangga terdekat, melainkan juga dari wilayah-wilayah jauh, agar di luar carut-marut politik, sejumlah warga dari pelbagai bangsa tetap bisa bersahabat dengan mesra., saling mengetahui dan saling memahami, tanpa rasa takut dan prasangka buruk.

Memilih tema Living Together, festival ini dimaksudkan sebagai sarana penggalian makna esensial yang terkandung di dalam sastra, yakni upaya memahami keberadaan manusia dan semestanya. Betapapun kecil dan sayup, semoga suara festival ini menjadi bagian dari gema kebudayaan yang berdaya bujuk mengeratkan hubungan antar masyarakat yang beradab, karena di dalam sastra kita melihat harapan: persahabatan antar-manusia lintas ideologi, agama, dan bangsa. Sebuah angan yang indah dan tak mudah.

Tidak mudah karena banyak orang, termasuk yang berpendidikan dan bergerak di bidang kebudayaan, tak terkecuali dari negara-negara yang mengaku punya tingkat keberadaban tinggi, belum memandang sastra sebagai prioritas dalam pergaulan antar-manusia dan antar-bangsa. Dari sekitar 20 perwakilan negara dan pusat kebudayaan asing yang kami ajak serta, sebagian besar tidak memberikan tanggapan yang membahagiakan. Kami menghargai segala alasan dan sikap mereka.
Terima kasih sebesar-besarnya kepada Prince Claus Foundation, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, Selasar Sunaryo Art Space, Komunitas Rumah Panggung, Australia-Indonesia Institute, dan Winternachten. Tanpa dukungan mereka, festival ini muskil terselenggara. Terima kasih juga kepada para penulis yang dengan senang hati bersedia berbagi, juga kepada semua pihak yang memberikan bantuan namun tak tersebutkan. Semoga niat baik dan kerja kita tidak menguap sia-sia.

Salam,

Sitok Srengenge,
Direktur International Literary Biennale 2005.

International Literary Biennale 2005
Performance Schedule

Bandung 26 August 2005

20.00 – 20.10 : Opening Music, KeTUK Group
20.10 – 20.20 : Speech: Goenawan Mohamad & Sunaryo
20.20 – 20.30 : Soni Farid Maulana
20.30 – 20.40 : Abe Barreto Soares
20.40 – 20.50 : Nur Wahida Idris
20.50 – 21.00 : Frank Martinus Arion
21.00 – 21.10 : Eka Kurniawan
21.10 – 21.20 : Ramsey Nasr
21.20 – 21.30 : Kurnia Effendi
21.30 – 21.40 : Lauren William
21.40 – 21.50 : Closing Music, KeTUK Group

Bandung 27 August 2005

20.00 – 20.10 : Opening Music, KeTUK Group
20.10 – 20.20 : Mona Sylviana
20.20 – 20.30 : A.S. Laksana
20.30 – 20.40 : Ellen Ombre
20.40 – 20.50 : Saini K.M.
20.50 – 21.00 : H.U. Mardi Luhung
21.00 – 21.10 : Antjie Krog
21.10 – 21.20 : Godi Suwarna
21.20 – 21.30 : Jan Cornall
21.30 – 21.40 : Closing Music, KeTUK Group


International Literary Biennale 2005

Performance Schedule

Lampung 29 August 2005

20.00 – 20.10 : Opening, Oral Literary Tradition, Masnunah
20.10 – 20.20 : Speech: Nirwan Dewanto & Iswadi Pratama
20.20 – 20.30 : Isbedy Stiawan ZS
20.30 – 20.40 : Ramsey Nasr
20.40 – 20.50 : Dinar Rahayu
20.50 – 21.00 : Frank Martinus Arion
21.00 – 21.10 : Shinta Febriany
21.10 – 21.20 : Antjie Krog
21.20 – 21.30 : Marhalim Zaini
21.30 – 21.40 : Lauren William
21.40 – 21.50 : Closing, Oral Literary Tradition, Masnunah

Lampung 30 August 2005

20.00 – 20.10 : Opening,
20.10 – 20.20 : Jimmy Maruli Alfian
20.20 – 20.30 : Ramsey Nasr
20.30 – 20.40 : Abe Barreto Soares
20.40 – 20.50 : Martin Aleida
20.50 – 21.00 : Ellen Ombre
21.00 – 21.10 : Inggit Putria Marga
21.10 – 21.20 : Frank Martinus Arion
21.20 – 21.30 : Lauren William
21.30 – 21.40 : Tan Lioe Ie
21.40 – 21.50 : Jan Cornall
21.50 – 22.00 : Closing


Jakarta 1 September 2005

20.00 – 20.10 : Opening, Teater Mandiri
20.10 – 20.20 : Speech: Sitok Srengenge & Ton van de Langkruis
20.20 – 20.30 : Afrizal Malna
20.30 – 20.40 : Ellen Ombre
20.40 – 20.50 : Azhari
20.50 – 21.00 : Antjie Krog
21.00 – 21.10 : Hamsad Rangkuti
21.10 – 21.20 : Jan Cornall
21.20 – 21.30 : Gunawan Maryanto
21.30 – 21.40 : Lauren William

Jakarta 2 September 2005

20.00 – 20.10 : Opening Music
20.10 – 20.20 : Radhar Panca Dahana
20.20 – 20.30 : Ramsey Nasr
20.30 – 20.40 : Budi Darma
20.40 – 20.50 : Abe Barreto Soares
20.50 – 21.00 : Arswendo Atmowiloto
21.00 – 21.10 : Frank Martinus Arion
21.10 – 21.20 : N. Riantiarno
21.20 – 21.30 : Antjie Krog
21.30 – 21.40 : Closing Music

Jakarta 3 September 2005

20.00 – 20.10 : Opening Music
20.10 – 20.20 : Iswadi Pratama
20.20 – 20.30 : Ellen Ombre
20.30 – 20.40 : Abe Barreto Soares
20.40 – 20.50 : Dewi Lestari
20.50 – 21.00 : Ramsey Nasr
21.00 – 21.10 : Frank Martinus Arion
21.10 – 21.20 : Landung Simatupang
21.20 – 21.30 : Jan Cornall
21.30 – 21.40 : Closing Music

Bandung & ”Biennale Sastra Internasional 2005”

Oleh SONI FARID MAULANA

DIAKUI atau tidak, Bandung mempunyai peran yang cukup penting dalam perkembangan dan pertumbuhan sastra Indonesia, khususnya dalam bidang puisi. Hal itu tidak hanya terlihat dari munculnya berbagai aktivitas yang menggemparkan di tahun 1970-an, seperti diselenggarakannya acara "Pengadilan Puisi" yang melambungkan nama penyair Sutardji Calzoum Bachri dan Abdul Hadi W.M., serta munculnya gerakan puisi mBeling yang digagas oleh penyair Remy Silado dan Jeihan Sukmantoro, tetapi juga jauh sebelumnya, penyair Saini KM sudah aktif mengadakan kegiatan penyemaian benih para penulis puisi lewat rubrik Kuntum Mekar, dan Pertemuan Kecil. Kedua rubrik yang diasuhnya itu ada di HU Pikiran Rakyat.

Dari generasi ke generasinya kegiatan puisi di Bandung tak putus-putusnya diselenggarakan orang. Forum demi forum sastra pun bermunculan. Dalam sastra Indonesia antara lain, lahir Komunitas Swawedar digagas oleh Anton D. Sumartana, Kelompok Pengarang Bandung (KPB) digagas oleh Diro Aritonang, Yessi Anwar dan Beni Setia, Kelompok Sepuluh digagas oleh Moh. Ridlo 'Eisy dan Herry Dim, serta Forum Sastra Bandung (FSB) digagas oleh Juniarso Ridwan, almarhum Sanento Yuliman, dan Agus R. Sardjono. Di luar itu, tentu saja masih ada kelompok-kelompok lainnya yang digarap oleh para mahasiswa di kampus-kampus, seperti Group Apresiasi Sastra (GAS) ITB, yang terkenal pada zamannya, melahirkan gerakan puisi bebas yang menggemparkan itu. Gerakan ini, setidaknya merupakan jawaban atas gerakan puisi konkret yang digagas oleh Sutardji Calzoum Bachri, Danarto, dan Abdul Hadi W.M., yang digelar di TIM, Jakarta pada tahun 1970-an.

Tentu saja, apa yang berkembang di Bandung dalam bidang sastra itu, tidak hanya dalam bidang sastra Indonesia saja. Sastra Sunda pun tumbuh dengan sejarahnya sendiri. Kadang para sastrawannya, selain menulis karya sastra dalam bahasa Sunda, juga menulis dalam bahasa Indonesia. Adanya kenyataan semacam ini, memberikan satu bukti bahwa kehidupan sastra di Bandung selalu hangat dialog, meski pada akhirnya dialog itu pada sisi-sisi tertentu tidak selalu dibuka di ruang publik.

Paling tidak, itulah sekilas tentang kegiatan sastra di Bandung, khususnya dalam bidang puisi Indonesia sejak pertengahan tahun 1960-an hingga akhir tahun 1990-an. Pada awal tahun 2000, lebih tepatnya pada tahun 2002, Rendra memandang penting Kota Bandung sebagai kota yang hidup dalam kegiatan puisi. Untuk itu, ia tidak ragu pada tahun itu memilih Kota Bandung sebagai salah satu kota yang menggelar acara Puisi International Indonesia (PII), yakni sebuah acara festival puisi internasional, yang mendatangkan sejumlah penyair dari Belanda, Jerman, Malaysia, dan Indonesia. Acara ini selain digelar di Bandung, juga digelar di Solo dan Makassar.

"Digelarnya acara PII di Kota Bandung, karena apresiasi puisi cukup hidup. Adanya kelompok-kelompok sastra, seperti Forum Sastra Bandung (FSB) telah memberikan warna tersendiri bagi perkembangan dan pertumbuhan sastra itu sendiri, seperti apa yang sudah ditunjukkan lewat penerbitan buku-buku puisi yang diproduksinya. Dari Bandung ada banyak penyair dari generasi kemudian yang pertumbuhannya cukup menggembirakan," ujar Rendra pada saat itu.

**

Memasuki tahun 2005, Komunitas Utan Kayu (KUK) memandang penting hadirnya Kota Bandung dalam jagat puisi Indonesia dewasa ini. Pada 26-27 Agustus 2005 mendatang, kalau tidak ada aral melintang, KUK memilih Selasar Sunaryo Art Space sebagai tempat acara "Biennale Sastra Internasional Utan Kayu 2005" yang diberi tema Living Together.

"Diselenggarakannya festival sastra berskala internasional ini dimaksudkan untuk mewujudkan makna esensial yang terkandung di dalam sastra, yakni upaya memahami keberadaan manusia dan semestanya. Dengan mengambil tema Living Together (hidup bersama), dimaksudkan festival ini menjadi upaya perluasan dari pemahaman tadi. Sebab, tak seorang pun di dunia ini bisa hidup sendiri. Saling ketergantungan antarmanusia akan menjelma kerja sama yang seimbang, harmonis, dan indah, apabila masing-masing pihak memiliki pemahaman dan kesetaraan. Sastra mempunyai tenaga yang besar untuk mengeratkan interaksi antarmasyarakat yang beradab karena sastra merupakan salah satu bentuk ekspresi manusiawi yang murni dan berdaya jangkau lintas ideologi, agama dan bangsa," jelas Sitok Srengenge, Direktur Pelaksana Utan Kayu International Literary Biennale 2005, dalam surat elektroniknya.

"Pada 2005, program ini akan diadakan di 3 kota di Indonesia, dengan mengundang berbagai ragam penyair dan penulis dari Indonesia serta dari lingkup internasional. Festival akan berlangsung di Bandung (Jawa Barat) dan Lampung, (Sumatra Barat) sebelum diakhiri di Jakarta. Di Lampung, Komunitas Utan Kayu akan bekerja sama dengan Komunitas Rumah Panggung dan di Bandung dengan Selasar Sunaryo Art Space. Sebagaimana festival sebelumnya, Winternachten Oversee akan berperan serta. KUK bekerja sama dengan sejumlah kedutaan besar dan pusat-pusat kebudayaan untuk mendatangkan penulis-penulis dan penyair Internasional ke Indonesia. Semua karya yang dibacakan akan diterjemahkan dan hasilnya akan ditampilkan melalui layar proyektor sepanjang pementasan, serta akan diterbitkan dalam buku kecil untuk para penonton," jelasnya dalam kesempatan yang lain, dalam percakapannya dengan penulis beberapa waktu lalu di CCF de Bandung.

Untuk pertama kalinya, katanya lebih lanjut, acara tersebut digelar KUK pada tahun 2001. Sejumlah penulis dan penyair dari Indonesia dan sembilan dari mancanegara mengadakan pementasan di Jakarta dan Yogyakarta. Program tahun 2001 ini merupakan kolaborasi antara KUK dan Winternachten, Den Haag Belanda. Pada tiap lokasi, para peserta menampilkan pembacaan dinamis karya mereka dan melakukan diskusi dengan penonton/audiens. Karya dari penulis asing diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk penonton dan ditampilkan melalui layar proyektor pada saat mereka membacakan karya. Demikian pula sebaliknya. Satu buku kumpulan karya yang dibacakan selama festival diberikan kepada tiap hadirin dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris.

Sukses dengan acara tersebut, dua tahun berikutnya, KUK mengadakan acara serupa dengan partisipasi dari Winternachten dan Vienna Poetry School, Austria. Pada tahun itu festival sastra berlangsung di tiga kota, Denpasar, Solo, dan Jakarta. Pada 2003 Festival ini menampilkan sebagian dari karya sastra dan puisi terbaik dari Indonesia, meliputi penulis dan penyair terkemuka seperti Sapardi Djoko Damono dan Putu Wijaya juga para pendatang baru yang penting. Peserta dari luar Indonesia datang dari Afrika Selatan, Belanda, Suriname, Kepulauan Antilles, Jerman, Austria, dan Malaysia. Sekali lagi, semua karya para peserta diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris atau Indonesia dan ditampilkan ke layar proyektor di belakang para peserta yang melakukan pementasan dan diterbitkan dalam sebuah buku kecil untuk penonton.

Adapun para sastrawan yang akan tampil di Bandung (26 - 27 Agustus 2005) adalah, A.S. Laksana, Saini KM, Nur Wahida Idris, H.U. Mardiluhung, Mona Sylviana, Eka Kurniawan, Soni Farid Maulana, Godi Suwarna dan Kurnia Effendi. Di Lampung (29- 30 Agustus 2005), Marhalim Zaini, Inggit Putria Marga, Isbedy Stiawan ZS, Jimmy Maruli Alfian, Tan Lioe Ie, Dinar Rahayu, Martin Aleida, dan Shinta Febriany. Di akarta (1- 3 September 2005), Teater Mandiri, Azhari, Iswadi Pratama, Gunawan Maryanto, Afrizal Malna, Dewi Lestari, Landung Simatupang, Arswendo Atmowiloto, Budi Darma, N.Riantiarno, dan Hamsad Rangkuti. Sedangkan para penyair asing yang akan hadir di tiga kota tersebut ada delapan orang. Beberapa di antaranya yang sudah konfirmasi adalah penyair Frank Martinus Arion (Curagao - Netherlands Antilles) Ramsey Nasr (Netherlands), Antjie Krog (South-Africa), Ellen Ombre (Suriname/Netherlands), dan wakil dari Winternachten adalah Wilma Scheffers, Ton van de Langkruis (Netherlands) serta Music-programmer Francis de Souza. "Selain mereka masih ada penyair-penyair lainnya seperti dari Australia dan beberapa negara lainnya. Mereka masih dalam konfirmasi," jelas Wikan, dalam surat elektroniknya, salah seorang panitia acara tersebut.

**

LEPAS dari semua itu, digelarnya acara-acara sastra berskala nasional maupun internasional di Bandung, setidaknya mempunyai arti yang cukup penting bagi para apresiator puisi yang ingin mendengarkan secara langsung bagaimana para penyair membacakan puisi-puisi yang ditulisnya dengan gayanya yang khas dan memikat. Dalam Puisi International Indonesia yang digelar di Bandung pada tahun 2002 lalu itu, penampilan penyair Hamid Jabbar almarhum dan Godi Suwarna benar-benar memikat perhatian, bukan karena disebabkan puisi yang ditulis oleh kedua penyair tersebut menarik, tetapi juga oleh warna vokal mereka serta cara penghayatannya dalam mengekspresikan setiap larik demi larik puisi yang dibacanya di atas pentas. Rendra sendiri pada saat itu lebih menahan diri untuk tampil ekspresif. Ia justru tampil apa adanya, namun terasa kontemplatif ketika ia membacakan beberapa puisi terjemahan dari para penyair Belanda atau Jerman.

Ketika puisi-puisi itu dibacakan dengan vokal yang jernih, kata-kata yang didengar oleh para apresiatornya seringkali bertaut dengan sejumlah kenangan yang mendadak muncul dalam benak mereka. Untuk itu, puisi sekalipun ia berupa sebuah dunia yang privat, nyatanya selalu menyisakan semacam celah, bagi seseorang atau siapa pun untuk masuk ke dalamnya, berasyikmasyuk di situ, apa pun makna yang didapatnya.

Lantas Winternachten Oversee itu apa? Ia adalah semacam lembaga kesenian yang didirikan oleh sejumlah seniman dan aktivis seni di Belanda, yang setiap tahunnya menyelenggarakan acara Festival de Winternachten baik yang digelar di Den Haag Belanda, atau di beberapa negara lainnya, yang dulunya punya kaitan erat dengan sejarah Belanda, khususnya negara-negara bekas jajahan Belanda. Acara yang digelar dalam festival tersebut tidak hanya melulu menggelar karya sastra, tetapi juga menampilkan pertunjukan musik, teater, dan juga musik. Sejumlah seniman Indonesia banyak sudah yang diundang ke sana, termasuk beberapa seniman dari Bandung, seperti Nenden Lilis A, Acep Zamzam Noor, dan A. Rahmaiani.

Adapun Komunitas Utan Kayu (KUK), ia adalah sebuah pusat kebudayaan swasta yang memulai aktivitasnya sejak 1993. Pada masa Orde Baru, ia merupakan pusat perlawanan terhadap rezim militer Presiden Soeharto. Kegiatan-kegiatan budaya pada masa itu berfungsi sebagai pengalihan atau kamuflase dari aktivitas-aktivitas politik ISAI (Institut Studi Arus Informasi), yang disamarkan dengan membangun gedung galeri seni Komunitas Utan Kayu. Meskipun Orde Baru telah berakhir, tekanan dan intimidasi masih terus berlangsung.

Dalam menjalankan programnya, KUK bekerja untuk mencapai masyarakat Indonesia yang lebih terbuka, bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di kota-kota lain melalui kerja sama yang bersifat semi otonom dengan pusat-pusat kesenian yang ditujukan untuk mengembangkan kebebasan berekspresi di luar ibu kota.

Selain menggelar Biennal Sastra International, KUK juga akan bekerja sama dengan Prince Claus Fund untuk menyelenggarakan Festival Wayang Internasional (April 2006), Festival Film Pendek(September 2006), dan juga Bienal Sastra Internasional yang keempat (Agustus 2007), serta akan menerbitkan edisi khusus jurnal Prince Claus dengan tema Living Together, sesuai dengan tema Bienal Sastra 2005.***

Sabtu, 09 Juli 2005, HU Pikiran Rakyat