Kamis, 12 Juli 2007

Soni Farid Maulana, "Puisi Membaskan Batin Saya!"

SONI FARID MAULANA termasuk salah seorang penyair penting dari generasi tahun 1980-an. Ia segenrasi dengan penyair Acep Zamzam Noor, Nirwan Dewanto, Dorothea Rosa Herliany, Joko Pinurbo, Isbedy Stiawan ZS, Agus R. Sardjono dan Ahmadun Yosi Herfanda. Di bawah ini percakapan kecil dengan penyair tersebut saya tuliskan, untuk keperluan yang lebih luas. Puisi-puisi yang ditulisnya banyak sudah dibahas orang, baik dalam bentuk esai, skripsi, maupun disertasi. Salah seorang penulis asing yang menulis puisi Soni Farid Maulana untuk disertasinya adalah Ian Campbell dari Australia. Puisinya selain diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, juga kedalam bahasa Jerman dan Belanda. Antara lain diterjemahkan oleh Dr. Berthlod Damshauser dan Prof. Dr.A. Teeuw

Susiana Puspitasari: “Sehampar Kabut” masuk dalam Lima Besar Khatulistiwa Literary Award 2005-2006. Bagaimana perasaan Anda?

Soni Farid Maulana: Alhamdulillah, senang. Kumpulan puisi tersebut terbit setelah antologi puisi “Secangkir Teh”.

Susiana Puspitasari: Sejak kapan Anda mulai menulis puisi?

Soni Farid Maulana: Sejak tahun 1976.

Susiasana Puspitasari: Kalau boleh saya tahu, siapa penyair yang Anda kagumi saat ini?

Soni Farid Maulana: Ada banyak. Di antaranya Rendra, Wing Kardjo, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Baudelaire, Rumi, Hafiz, Sana’i, Tufu, Sutardji Calzoum Bachri, Pablo Neruda, dan lain-lain.

Susiana Puspitasari: Apa yang menggerakkan hati Anda menulis puisi?

Soni Farid Maulana: Saya tidak tahu. Saya tidak bisa mengatakannya. Tapi yang jelas selalu ada sesuatu yang ingin saya ekspresikan di atas kertas. Jika batin saya hamil oleh sebuah pengalaman, maka pengalaman itu ada kalanya saya ekspresikan dalam bentuk puisi atau cerita pendek. Yang jelas, dengan menulis puisi atau cerita pendek batin saya merasa dibebaskan dari sebuah pengalaman yang entah apa namanya, yang melahirkan rasa bahagia di hati saya.

Susiana Puspitasari: Sejak kapan Anda berkenalan dengan puisi?

Soni Farid Maulana: Sejak anak-anak. Nenek saya tercinta, almarhumah Oneng Rohana adalah guru tembang Sunda cianjuran. Nenek saya sering meminta saya untuk membaca lirik-lirik tembang tersebut yang ditulis dalam bahasa Sunda. Jadi puisi yang pertamakalinya saya baca itu, ya, yang ditulis dalam bahasa Sunda. Setelah masuk SMP saya kemudian mengenal Chairil Anwar, Amir Hamzah, Sapardi Djoko Damono, dan Rendra. Setelah kuliah di Jurusan Teater STSI Bandung baru mengenal Goenawan Mohamad, Sutardji Calzoum Bachri, Baudelaire, Abdul Hadi W.M., Tufu, dan Wing Kardjo. Bahkan puisi-puisi Saini KM pun saya baca ketika saya kuliah di Jurusan Teater STSI Bandung. Saini KM dosen saya.

Susiasana Puspitasari: Setelah “Secangkir Teh” dan “Sehampar Kabut” kumpulan puisi apa yang tengah Anda tulis?

Soni Farid Maulana: “Angsana.” Kumpulan puisi tersebut diterbitkan oleh Ulitimus, Bandung.

Susiana Puspitasari: Kalau dari generasi Anda, siapa penyair yang Anda sukai puisi-puisinya?

Soni Farid Maulana: Banyak. Antara lain saya suka membaca puisi Acep Zamzam Noor, Dorothea Rosa Herliany, Agus R. Sardjono, Joko Pinurbo, Nirwan Dewanto, Sitok Srengenge, dan Binhard. Saya kagum pada mereka yang begitu fasih memainkan kata.

Susiasana Puspitasari: Anda sendiri tidak fasih?

Soni Farid Maulana: Tidak. Puisi saya sederhana. Kata orang terlalu sederhana.

Susiana Puspitasari: Anda merendah?

Soni Farid Maulana: Tidak. Saya berkata jujur.

Malam begitu dingin saat itu. Percakapan demi percakapan mengalir hingga larut malam di sebuah café, di Bandung Utara.***

Rabu, 11 Juli 2007

Khatulistiwa Literary Award 2007

10 July 2007

Salam Buku!

Sampai penyelenggaraannya yang ketujuh, Khatulistiwa Literary Award (KLA) selalu memicu kontroversi dan perdebatan. Penghargaan ini pun telah melewati sejumlah perubahan dalam sistem penjurian maupun kategori yang dilombakan. Tahun ini, anugerah sastra yang diprakarsai oleh QB World Books diadakan kembali dengan semangat pembaruan, setidaknya lewat bertambahnya kategori penghargaan. Beberapa perbaikan dalam penyebaran informasi mengenai penghargaan ini juga akan dilakukan. Hal ini bukan untuk menyelesaikan polemik, tetapi sebagai usaha tak kenal lelah mendukung perkembangan sastra di Indonesia.

KLA 2007 menghadirkan sebuah kategori baru, yaitu Penulis Muda Berbakat. Kriterianya adalah sebagai berikut:

. Karya pertama yang ditulis oleh penulis Indonesia dalam bahasa Indonesia.

. Karya bergenre fiksi, baik sastra maupun teenlit atau chicklit.

. Karya merupakan terbitan pertama dari penulis.

. Penulis berusia maksimal 30 tahun ketika karya diterbitkan.

. Diterbitkan dalam kurun waktu Juni 2006 sampai Juni 2007.

. Merupakan karya sastra asli yang diterbitkan pertama kali dalam bentuk buku. Cetak ulang tidak diperkenankan.

. Peserta mengirim buku sejumlah 6 (enam) eksemplar ke Panitia KLA 2007.

. Untuk kategori Prosa dan Puisi, kriterianya masih sama dengan KLA yang lalu, yaitu:

. Karya sastra yang ditulis oleh penulis Indonesia dalam bahasa Indonesia. Berupa kumpulan cerpen, novel atau kumpulan sajak.

. Diterbitkan di Indonesia dalam kurun waktu Juni 2006 sampai Juni 2007.

. Merupakan karya sastra asli yang diterbitkan pertama kali dalam bentuk buku. Cetak ulang tidak diperkenankan.

Panitia KLA 2007 mengundang rekan-rekan penerbit untuk mengirimkan judul yang ingin diikutsertakan lewat formulir yang tersedia sehingga dapat diterima panitia selambat-lambatnya 31 Juli 2007. Sebuah judul boleh diikutsertakan dalam kategori Prosa dan Penulis Muda Berbakat. Dewan juri akan memilih sepuluh (10) judul untuk masuk ke dalam longlist yang diumumkan tanggal 22 Agustus 2007.

Formulir pendaftaran dapat diunduh di:

khatulistiwaliteraryaward.wordpress.com

atau diperoleh dari panitia yang dapat dihubungi di:

khatulistiwa.literary.award@gmail.com

Penerbit yang bukunya termasuk dalam longlist akan menerima pemberitahuan resmi dari panitia dan diwajibkan mengirim 10 buah buku dan 1 buah dokumen soft copy untuk setiap judul atau 1 buah buku, 9 buah print out manuskrip dan 1 buah dokumen soft copy untuk setiap judul.

Nominasi atau shortlist akan diumumkan di bulan Oktober 2007. Pemenang untuk setiap kategori akan dimumkan pada malam penganugerahan KLA 2007 yang rencananya akan diadakan pada akhir November.

Hadiah untuk masing-masing kategori adalah sebagai berikut:

Prosa Rp 100.000.000

Puisi Rp 100.000.000

Penulis Muda Berbakat Rp 25.000.000,00

Kunjungi khatulistiwaliteraryaward.wordpress.com untuk membaca daftar pemenang, nominasi dan juri KLA terdahulu. Informasi lengkap mengenai tata tertib, sistem penjurian, profil panitia dan berita terbaru dapat segera dijumpai juga di sana.



Panitia KLA 2007
Jalan Cempaka Putih Tengah XIII /18
Jakarta 10510
Telp / Fax: 021 – 421 6085


===========================

Chusnato
(021 99751645)

Gratiagusti Chananya Rompas
(081 61147962)

===========================

Tata Tertib Khatulistiwa Literary Award 2007

Panitia penyelenggara sama sekali tidak terlibat dalam pemilihan dan proses penilaian juri.

Hasil dari setiap tahap penjurian akan dikirim dalam amplop tertutup kepada akuntan publik yang ditunjuk.

Identitas juri akan dirahasiakan sampai tahap penjurian berakhir. Hal ini akan dicantumkan dalam memorandum antara panitia penyelenggara dengan para anggota juri.

Apabila ada juri yang – secara sengaja maupun tidak sengaja – melanggar perjanjian ini, maka penilaian juri tersebut akan didiskualifikasi dan tidak akan dimasukkan dalam tabulasi final.

Keputusan juri, yang akan diumumkan oleh akuntan publik yang ditunjuk, adalah sah dan final serta tidak dapat diganggu-gugat. Tidak diperkenankan surat-menyurat kepada anggota juri selama penjurian berlangsung.

Bila dalam hasil penilaian final muncul dua nama dengan jumlah nilai sama, hadiah akan dibagi dua.

Penerbit yang bukunya termasuk dalam longlist, shortlist dan menerima penghargaan wajib mencantumkan logo KLA di sampul depan buku.

Pajak hadiah akan ditanggung oleh penerima hadiah.

Selasa, 10 Juli 2007

Tempat Domisili Seorang Sastrawan

Oleh BENI SETIA

Salah satu gema polemik yang tertinggal dari gairah berkesusastraan pada dekade 80-an kemarin adalah gagasan sastra kontekstual. Secara konsepsi gagasan sastra kontekstual ini menekankan pentingnya kesadaran seorang sastrawan, yang ber-domisili di satu tempat yang kongkrit, dan karenanya menyadari situasi sosial-politik dari tempatnya berdomisili, dan lalu meresponnya. Responnya itu bisa bermakna menandai ketidakadilan sosial, struktural atau nonstruktural, menandai pelaku-pelakunya, dan melakukan penandaan deskriptif dan/atau pemihakan dengan meluncurkan teks kritik atau teks emansipatorik.

Bagi saya sendiri, masalah yang kemudian muncul adalah konsepsi tentang domisili dari kesadaran si sastrawan itu sendiri. Bagi saya, seorang sastrawan tak hanya tinggal, misalnya, di Cimelas, dan karenanya mengamati dan menyimpulkan tatanan struktural sosial-politik masyarakat Cimelas yang memelas di dalam karyanya. Sehingga ia hanya bisa menjadi sastrawan Cimelas - dan karena Cimelas itu bagian dari Indonesia maka ia menjadi sastrawan Indonesia yang kontekstual menghadirkan potret Cimelas. Tapi ia bisa memilih Cimarahmay atau Ciramohpoy yang unik, dan melakukan penelitian partisipasif sehingga ia memahami situasi struktural dari Cimarahmay atau Ciramohpoy secara empatik, lantas menuliskan teks sastra.

Dengan kata lain, yang utama itu bukan domisili dan konteks tapi lokasi dan penelitian partisipasif empatik. Dan semua sastrawan, terutama yang menulis dalam genre sastra prosa, yang menekankan pentingnya faktor setting yang kongkrit bagi pengembangan karakter dan konflik [cerita], terbiasa melakukan penelitian partisipasif empatik tentang detil wilayah dan budaya dari setting yang dipilihnya. Mereka meneliti agar paham akan detil wilayah, budaya dan kebiasaan sosial, mereka melakukan pencocokan wilayah, ciri budaya dan kecederungan sosial setempat, dan karenanya mereka meneguhkan ciri wilayah, corak budaya setempat, dan ilustrasi umum kecenderungan sosial. Mereka melakukan penelitian tertutup, tak terang-terangan melakukan penelitian yang ketat dengan pola dan metoda ilmu sosial. Disebabkan mereka hanya ingin bercerita dan bukan meneliti atau menghadirkan gambaran penelitian yang valid lewat aliran cerita.

Gagasan sastra kontekstual itu sendiri sebenarnya bias, karena berpijak di dua daerah yang berbeda. Sastra yang selalu ada di wilayah fiksi tidak bisa ditarik untuk berserius melakukan pemahaman tematik cerita secara faktual dengan penelitian yang ketat khas ilmu social. Sekaligus pemihakan dan simpati humanistik yang dijadikan motor penelitian dan motif penulisan karya sastra, akan melahirkan gambaran yang berbeda ketika diluncurkan untuk melakukan penelitian dan laporan pene-litan yang bisa diverifikasi secara ilmiah, dengan ketika dipakai untuk menghidupkan cerita secara empatik. Logika dan bahasa, metoda dan displin [kerja] di antara keduanya amat berberda, dan harus tetap berbeda agar semakin jelas mana perbe-daan di antara keduanya. dan, akibatnya, [tentu saja] efek akibat membacanya pun akan berbeda. Yang satu deskriptik dan diharapkan emansipatorik menggugah, se-dangkan yang lainnya imajinatif dan diharapkan melahirkan simpati yang empatik.

Selain itu, pada kenyataannya, tempat domisili seorang sastrawan itu tak cuma tempat bernama Cimelas, Cimarahmay, Ciramohpoy, Ranca Ekol, Legok Agul, Pasir Kingkin, atau Gunung Puntang. Sekaligus mobilitas seorang sastrawan itu tidak hanya gerak insidentil dan reguler antara Cimelas, Cimarahmay, Ciramohpoy, Ran-ca Ekol, Legok Agul, Pasir Kingkin atau Gunung Puntang. Tidak hanya yang ber-sipat real dan kongkreit bisa didatangi setiap orang. Ia juga hidup dalam bacaan, sehingga sewaktu-waktu ia bisa pergi ke Cijulang di dalam alam pikir dan teks Rachmat M. Sas. Karana. Atau Cindulang seorang Aam Amalia. Atau Italia dalam teks Acep Zamzam Noor. Amerika wildwest dalam teks Karl May. Ingris masa lalu dalam teks Charles Dicken atau Conan Doyle. Dan panorama Cina klasik dalam teks Kho Ping Hoo. Panorama Jawa klasik dari teks ketoprak, teks SH Mintardja atau Bastian. Dan seterusnya. Dan sebagainya.

Itu tempat untuk berdomisili yang sama kongkrit dan inspiratifnya dengan se-gala tempat yang bernama Cimelas, Ranca Ekol, Legok Agul, Pasir Kingkin atau Gunung Puntang. Belum lagi teks-teks yang ketat dari hasil penelitian sosial, etnografi, antropologi, dan/atau hanya catatan perjalanan dan kisah biografi dan oto-biografi yang terserak di rak-rak buku non-fiksi perpustakaan umum. Itu satu tempat, baik yang real atau yang hanya berupa impresi, baik yang ada di masa sekarang kini atau yang hanya di masa lalu dan telah musnah hanya tinggal kenangan, yang selalu dikunjungi oleh seorang pengarang. Ke mana dan di mana ia melakukan penelitian fiksional atau faktual tak ketat untuk menentukan lokasi, setting, memperkaya karakter dengan ciri budaya dan kecenderungan sosial, dan seterusnya, yang bersipat sangat monokultural. Terkadang ia hanya merujuk ke satu lokasi, dan mencampurkan type karakter dari lokasi lain, dan mempertemukannya dengan ekspresi ciri budaya yang lain, dan karenanya membangun setting yang sangat multi-kultural. Mana bisa, mana suka di alam kebebasab serba mungkin.

Fenomena itu menyebabkan saya sadar bahwa seorang sastrawan bisa pergi ke mana saja dan bisa bermukim di mana saja - meski secara fisik tinggal di Parong-pong. Sekaligus ia sesungguhnya bisa menulis tentang apa saja, secara bagaimana saja, dengan memanpaatkan penelitian partisipasif dan pemahaman empatik tentang konteks tempat berdomisili secara fisik dan mental - selain kemungkinan yang ber-sipat teramat fantasi dan imajinasi. Karena itu seorang sastrawan yang melulu menulis tentang Landeuh Jugala karena lahir di Landeuh Jugala, bagaimana bagusnya pun ia sebenarnya hanya katak dalam tempurung. Meski kelasnya lebih baik dari si remaja yang melulu menulis sajak cinta karena baru jatuh cinta. Seorang sastrawan adalah yang melakukan penjelajahan. Pramudia Ananta Toer, misalnya, dengan Surabaya di masa kolonial. Saini KM, misalnya, dengan para Puragabaya sebagai pa-sukan pilihan di masa Pajajaran akhir. Budi Darma yang memotret manusia kota kesepian Amerika Serikat dalam Orang-orang Bloomington dan Olenka. Atau Ayu Utami, yang memotret kondisi di kilang minyak, Dumai, Blitar, dan New York dalam Saman dan Larung. Kho Ping Hoo yang gentayangan di Cina padahal ia belum ke Cina sebelum menulis epos Bu Pun Su. Dan seterusnya.

Konsekuensi dari semua itu, pada akhirnya, tak mungkin adalah istilah sastra-wan Bandung, sastrawan Jogja, atau sastrawan Surabaya. Karena konsekuensi dari penyebutan itu adalah harus adanya seorang sastrawan Cebek no. 74, RT 01 RW 02, Desa Karamat Mulya, Kecamatan Soreang, dan Kabupaten Bandung sebagai kon-sekuensi ekstrim dari terma sastrawan Bandung - yang hanya mau ditarik ke atas, ke sastrawan Jawa Barat, Indonesia, dan reginal Asean. Yang ada adalah sastrawan Ohoy atau Ehem, yang menulis di dalam bahasa Sunda atau bahasa Indonesia, dengan cerita yang bersetting monokultural Sunda atau multikurtural seorang Sunda di wilayah perbatasan (budaya) Jawa Mataraman dan Jawa Surabayaan. Di titik ini sastrawan Indonesia adalah sastrawan yang menulis dalam bahasa Indonesia, karena identifikasi konteksual berdasar wilayah berdomisilinya akan menyebabkan kegoyahan. Baik dikarena ia menulis secara multikultural. Atau karena si bersangkutan cenderung bergerak dari wilayah kongkrit ke wilayah kongkrit lainnya, serta dari wilayah mental berdasar bacaan ke wilayah mental berdasarkan bacaan berikutnya.

Karena itu tak ada penyair Bandung bernama Soni Farid Maulana atau Juniarso Ridwan, karena yang ada hanya penyair Soni Farid Maulana - yang kelahir-an Tasikmalaya dan besar secara kreatif di Bandung - dan penyair Juniarso Ridwan - yang menempuh pendidikan formal tehnik di ITB dan jadi birokrat Pemda kodya Bandung. Atau penyair Tasimalaya yang bernama Acep Zamzam Noor, karena yang ada itu penyair Acep Zamzam Noor - kelahiran Tasik, menempuh pendidikan formal artistik di ITB, besar secara kreatif di Bandung dan Jogja, dan kemudian ia mukim di pesantren di Tasikmalaya. Yang ada hanya seorang Saini KM yang serba bisa dan khatam sebagai pemikir. Yang ada hanya seorang Ajip Rosidi, inohong Sunda yang lama di Jepang dan kemudian mukim di Magelang - tetap Sun-da meski tinggal dekat ikon pusat budaya-religi Jawa kuno Borobudur. Dan karena sumbangan mereka selalu bersipat individual meski dampaknya mungkin bisa bersipat lokal, nasional atau regional.

Karenanya untuk apa asylum tempat bernama lokasi domisili si sastrawan selain alamat surat, jujugan silaturahmi, dan zona serah-terima honor? Jadi agak mengerikan juga ketika sebuah intitusi seni di Jakarta mengundang sastrawan Indonesia (baca: yang menulis memakai media bahasa Indonesia) untuk berkumpul di Jakarta dengan pemilahan domisili. Ini masuk wilayah Bandung, kecenderungannya puisi, dan saat ini terdiri dari si AIUO, sehingga merekalah yang berhak masuk sastrawan Bandung dalam buku Nun. Ini masuk wilayah domisili Jawa Timur, kecenderungannya puisi, dan terdiri dari AIUO, sehingga merekalah yang berhak masuk kelompok sastrawan Jawa Timur dalam buku Hamzah. Atau buku Wau mewa-kili wilayah domisili Bali dengan para sastrawan bernama AIUO. Dan seterusnya. Kenapa mereka tak disebut saja sebagai sastrawan Bla, Bli, Blo, dan hadir sebagai sastrawan Bla, Bli Blo, dan dimasukkan ke dalam antologi sastra Kum.

Karena bagi sastrawan hanya ada bahasa, untuk mengungkapkan apa-apa yang didalami secara subyektif di dalam sunyi - meski dikonsultasikannya dengan teman, dengan bacaan, dan dengan imajinasi-fantasi. Dan karenanya kita harus mengakuinya dengan identitas bahasa yang dipakai buat mengungkapkan gagasan. Dan mengakui kebesarannya berdasarkan keunikannya ketika mengungkapkannya di dalam dan dengan bahasa di satu sisi dan fenomena ciri subyektif dari apa yang diungkapkannya - yang didalaminya secara diam-diam dalam sunyi - di sisi lainnya. Itu hakekat seorang sastrawan. Seseorang yang secara KTP tinggal di Babakan Kukulutus, tapi senantiasa bergerak dari satu tempat imajiner bacaan ke tempat imajiner baca-an yang lainnya. Memang. Tetapi, yang jadi permasalahan kemudian: Apa namanya perasaan rindu seorang sastrawan kelahiran Babakan Kukulutas ke Babakan Kukulutus, yang kemudian tinggal di Pasir Combrek dan diberi penghargaan seniman Pasir Combrek?

Impuls rindu yang humanistik. Panggilah kontekstual ingin mengungkapkan ih-wal yang diketahui pasti tetapi belum sempat diungkapkan. Atau hanya kecemasan dari seseorang yang diayunkan waktu dan mendadak menemukan pantulan gema dari dinding batas akhir usia. Atau itu sudah memasuki wilayah filsaafat dan sufi, yang berbeda dari tradisi dan disiplin penelitian ilmu sosial dan empati sastra. Saya tak tahu. Dan mungkin harus membaca lagi agar bisa menulis tentangnya secara lebih jernih. Insya Allah.***

HU Suara Karya Minggu, 20 November 2005

Winternacht 1

Theater aan het Spui & Filmhuis Den Haag - Friday, January 29 1999 - 20.30 hrs

with Clark Accord | Arahmaiani | Gibi Bacilio | Breyten Breytenbach | Robert Dorsman | Carl Friedman | Dan Jacobson | Gerrit Komrij | Lebombo Basa | Nenden Lilis | Henk Maier | Soni Farid Maulana | Ensemble Multifoon | Aad Nuis | Soli Philander | Rendra | Agus Sarjono | Loit Sôls | Trevor Steele Taylor | Trio Klaus Kuiper | Dirk Vlasblom | Gert Vlok Nel | Michaël Zeeman

Lokalitas Sastra Indonesia

Oleh BENI SETIA

Definisi sastra lokal mengandaikan satu kesusasteraan yang terkungkung dan dikungkung oleh satu lokalitas. Meski kita sudah terbiasa menerima kehadiran sastra lokal tanpa mempertimbangkan vitalnya aspek eksklusivitas sastra bersangkutan. Bahkan cenderung menerimanya sebagai sesuatu yang inklusif hingga terbuka pada pengaruh asing. Ambil contoh, eksistensi sastra Sunda. Itu pasti bukan sastra yang hanya hadir dalam medium bahasa Sunda dan diumumkan dalam media cetak berbahasa Sunda supaya dibaca oleh komunitas yang terbiasa berkomunikasi dalam dan dengan bahasa Sunda.

Ketika kita membaca sajak-sajak Godi Suwarna mutakhir, meski ia memakai bahasa Sunda secara teramat personal, tapi kita tetap bisa meraba dan meli-hat bayang-bayang pola ekspresi Afrizal Malna. Atau sajaknya Soni Farid Maulana, Kembang Kembangning Simpe, yang mengingatkan kita pada sajak rupa - tetapi bukan rajah atau isim yang khas Sunda. Maka kita tak bisa menyebut itu sebagai sastra lokal Sunda. Semua itu jelas merujuk kepada sebuah pola dan mode estetika dan ekspresi sajak modern Indonesia, meski telah diadaptasikan di dalam dan dengan bahasa Sunda yang bagus - meski kadar Sundawiah Soni Farid Maulana di bawah Godi Suwarna. Dan, ketika kita tak bisa menyebut itu sebagai sastra lokal Sunda, maka kita mengerti kalau lokalitas (sastra) itu tak boleh eksklusif dan harus selalu inklusif.

Terminologi lokalitas yang coba ditekankan secara eksklusif itu selalu dibarengi sikap permisif dan toleran mengandaikan sifat inksklusif - sehingga estetika, ekspresi, idiomatik, kekayaan budaya, seting sosial, filsafat dan seterusnya dari satu komunitas (budaya) bisa beralih dan dipinjam oleh komunitas (bu-daya) lainnya. Ini agar teks sastra mutakhir satu komunitas (budaya) mendapat pengayaan verbal dan substansial. Tetapi apakah itu wajar? Bagi sebagian pelaku sastra (Sunda), hal itu malah dijadikan pertanda kalau energi kreatif sastra atau sastrawan (Sunda) masih dinamis, bisa mengaktualisasi diri hingga lahir trend dan genre baru.

Godi Suwarna atau Soni Farid Maulana, misalnya. Kita juga tahu kalau tidak ada lagi rasa, aroma, substansi dan hakikat Sunda di sana. Bahkan Sunda masa kini, yang secara sosial-politik terdesak oleh dominasi Indonesia (Jawa) dan dunia global.

Isu sastra lokal hanya ada dalam khazanah sastra Indonesia, dan diformulasikan sebagai sastra Indonesia yang terbuka pada realitas para pelakunya (para sastrawan itu) berjejak pada geografis Indonesia yang terkotak-kotak dalam kekayaan budaya suku. Ada Sunda - meski orang Cirebon tidak merasa Sunda dan orang Banten lama mempunyai kejayaan sejarah sendiri. Ada Jawa - yang terpecah dalam wilayah budaya pesisir, Madura, Ujung Timur, dan mungkin Samin dan Tengger. Sehingga, sastrawan Indonesia yang menulis sastra Indonesia dengan bahasa Indonesia berhak menampilkan manusia Sunda dengan seting Bandung atau Sumedang. Atau, seorang sastrawan Pariaman mengungkapkan karakter manusia dan filsafat hidup Minang dalam bahasa Indonesia bagi pembaca non-Minang. Dan, seterusnya.

Lokalitas adalah eksotisme. Sebuah bagian dari genre sastra romantik - sejak setengah abad lalu menggejala di dalam tradisi balada. Sebagai eksotisme, hal itu menjadi semacam kegenitan 'dandyisme' yang menyebabkan sebuah teks sastra tampil kemayu. Setengah tidak dipahami oleh apresiator yang berbeda latar, budaya dan bahasa (ibu) dari si sastrawan, karenanya terpaksa dibuatkan catatan kaki - atau pengantar oleh kritikus apresiatif yang banyak membualkan eksotisme bagi turis.

* *

Ada kecenderungan teks sastra Indonesia tidak bisa gampang dicerna dalam apresiasi awam tanpa membawa bekal referensi budaya lokal. Ada faktor-faktor estetika, ekspresi seni, filsafat, karakter, kekayaan budaya dan seterusnya - yang teramat lokal. Dengan melihat lokalitas Bloomington dalam kumpulan cerpen Budi Darma, Orang-orang Bloomington, atau Orang-orang Pinggiran dan yang Terpinggirkan dalam cerpen Joni Ariadinata, maka kita melihat lokalitas sebagai potensi seting, karakter tokoh, serta kemungkinan konfliks - selain idiom rasa bahasa. Karenanya, lokalitas menjadi kemungkinan menjelajah Nusantara dengan bahasa sebagai pisau analisis dan menjadikan teks sastra sebagai altar per-sembahan eksotisme posmo. Tak lebih dan tak kurang.

Bila tak punya motif menjual eksotisme lokal bagi orang kebanyakan di pasar, kenapa mereka masih memilih bahasa Indonesia? Padahal hal lokal itu akan menggejolak penuh gairah kalau disampaikan dalam dan dengan bahasa daerah. Bukankah sastra lokal akan tampil sangat eksklusif ketika diungkapkan dengan estetika, ekspresi dan bahasa daerah? Seorang Godi Suwarna atau So-ni Farid Maulana lebih mendekati ideal sastra lokal ketika mengadaptasikan yang nasional ke lingkup komunitas suku. Meski secara finansial lebih bagus mengekspor eksotisme lokal ke dunia global dengan bahasa Inggris sehingga kita mendapat julukan maestro posmo.

Tapi apa benar lokalitas (sastra) berhubungan dengan pangsa pasar? Ekslusivitas karya sebenarnya berjiwa inklusif dan memiliki efek finansial? Jadi, selalu ada langit di luar dan langit di dalam diri setiap sastrawan? ***

HU Suara Karya, Minggu, 18 Juni 2006

Penyair-penyair Jawa Timur Terabaikan

Catatan Kecil dari Festival Puisi Internasional

Oleh TJAHJONO WIDARMANTO

SEBUAH pesta kebudayaan baru saja lalu. Selama dua minggu, dari tanggal 1-13 April 2002, di tiga kota di Indonesia (Bandung, Surakarta, dan Makassar) digelar sebuah acara baca puisi antarbangsa yang diberi tajuk Festival Puisi Internasional Indonesia 2002. Festival ini melibatkan 45 penyair dari delapan negara, yaitu empat negara Eropa (Jerman, Belanda, Austria, dan Irlandia), tiga negara Asia (Jepang, Malaysia, dan tuan rumah Indonesia), serta satu negara Afrika (Afrika Selatan).

Indonesia diwakili beberapa penyair dari berbagai daerah, yaitu Jakarta, Jawa Barat (Bandung, Sukabumi, dan Sumedang), Jawa Tengah (Yogyakarta, Magelang, Surakarta), Jawa Timur (Madura), Sumatera, dan Sulawesi. Para penyair itu terdiri dari generasi tua dan generasi muda.

Para generasi tuanya (lahir tahun 1950-an ke bawah), kebanyakan memang sudah melegenda dalam publik sastra Indonesia seperti Rendra, Taufik Ismail, Hamid Jabbar, Abdul Hadi WM, Husni Djamaludin, Sapardi Djoko Damono, Sitor Situmorang, Saini KM, Sutardji Calzoum Bachri, Mustofa Bisri, Zawawi Imron, Zeffry J Alkitri, dan Afrizal Malna.

Sedangkan dari generasi mudanya tampil penyair Acep Zam-Zam Noer, Agus R Sardjono, Cecep Syamsul Hari, Dorothea Rosa Herliani, Joko Pinurbo, Sosiawan Leak, Matori A Elwa, Soni Farid Maulana, Oka Rusmini, dan Nenden Lilis Aisyah. Para penyair yang disebut belakangan ini rata-rata lahir pada tahun 1960-an, bahkan ada yang lahir di tahun 1970-an.

Yang menarik, dari para penyair yang diundang, ternyata Jawa Timur (Jatim) hanya diwakili oleh seorang penyair, dan itu pun tergolong penyair generasi tua, yaitu D Zawawi Imron dari Sumenep, Madura. Sedangkan dari daerah lain rata-rata diwakili lebih seorang penyair, dan terdiri dari generasi tua dan generasi mudanya. Misalnya saja, Jakarta. Selain nama-nama sepuh yang sudah melegenda semacam Sapardi Joko Damono, Rendra, juga tampil nama-nama generasi mudanya seperti Agus R Sardjono, Nenden Lilis.

Juga dari Bandung, selain Saini, tampil pula generasi mudanya (bahkan mendominasi) seperti Acep Zam-Zam Noer, Cecep Syamsul Hari, Soni Farid Maulana, dan sebagainya. Bahkan, dari beberapa daerah justru diwakili oleh generasi mudanya, seperti Surakarta dan Bali. Tentu saja hadirnya generasi muda ini amat membanggakan. Mereka kelak akan menjadi tonggak penting dalam melanjutkan mata rantai sejarah kesusastraan Indonesia.

**

NAMUN, alangkah sedihnya saya, mungkin juga masyarakat pecinta sastra di Jatim, ketika melihat bahwa Jatim hanya diwakili oleh seorang penyair saja. Dan itu pun dari golongan sepuh. Tentu saja tulisan ini tak mempersoalkan sosok D Zawawi Imron yang memang amat pantas dan layak mewakili Jatim dalam even besar itu. Namun, saya amat bersedih saat melihat kenyataan bahwa tak satu pun penyair generasi muda dari Jatim yang tampil mendampingi dan menyertai D Zawawi Imron.

Beberapa pertanyaan bersliweran di kepala saya: Ada persolan apa di peta kepenyairan Jatim, sehingga para penyair mudanya "tak terbaca?" Apakah Jatim tak memiliki penyair-penyair muda yang layak dimunculkan? Sudah terputuskah peta kesusastraan Jatim?

Tiba-tiba, saya teringat nama-nama penyair muda yang tersebar di seluruh Jatim, mulai dari Banyuwangi, Gresik, Lamongan, Surabaya, Mojokerto, Madiun, hingga Ngawi. Ada HU Mardiluhung, Hery Lamongan, Indra Tjahyadi, W Haryanto, Beni Setia, Anas Yusuf, Koespriyanto Namma, Tjahjono Widijanto, dan mungkin masih banyak berserak nama-nama lainnya.

Dari segi kualitas pun, nama-nama yang disebut di atas tak bisa dipandang sebelah mata. Karya-karya mereka sudah tersebar di media kebudayaan bergengsi dari Kalam, Horison, Ulumul Qur'an, Jurnal Perempuan, Perisa, Dewan Sastra (Malaysia), Bahana (Brunei Darussalam), hingga lembar-lembar kebudayaan di Kompas, Media Indonesia, Republika, dan sebagainya. Nama-nama itu berkali-kali juga diundang dalam berbagai acara dan festival kesusastraan semacam Mimbar Penyair Abad 21.

Mengapa nama-nama yang saya sebut di atas "tak terjaring" oleh panitia Festival Puisi Internasional Indonesia 2002 itu? Ketlingsut ke manakah nama-nama mereka itu? Ataukah mereka (pihak panitia) memandang remeh, bahwa Jatim tak lagi mempunyai penyair yang bisa diperhitungkan?

Barangkali saja, para penyair Jatim yang saya sebut di atas tak merasa rugi tidak dilibatkan. Namun, dilihat dari kacamata sejarah sastra, amatlah merugikan. Apalagi dari segi kualitas, mereka amat layak ikut serta dalam even itu.

**

LEBIH menyedihkan lagi melihat kenyataan bahwa Surabaya sebagai ibu kota Provinsi Jatim yang notabene kota metropolis kedua setelah Jakarta, tidak bisa menjadi tuan rumah even kebudayaan bertaraf internasional itu. Ironisnya, hampir setiap tahun Surabaya konon menyelenggarakan berbagai festival yang "dikabarkan" dan "digembar-gemborkan" sebagai festival berkelas internasional.

Ketidakikutsertaan para penyair muda Jatim dan tidak dipilihnya Surabaya sebagai tuan rumah dalam even Puisi Internasional Indonesia 2002 ini menunjukkan bahwa ada persoalan-persoalan serius dalam kesusastraan Jatim, khususnya dan kesenian pada umumnya.

Pertama, tidak adanya pengamat sastra (kritikus) dan media yang bisa membangun citra kesustraan Jatim, yang sanggup "mempromosikan" kesusastraan Jatim. Kedua, para sastrawan (penyair) Jatim tak memiliki strategi kesenian yang tepat untuk menjalin network dengan jaringan kebudayaan lain, baik internasional maupun nasional. Dalam hal ini saya sependapat dengan pendapat rekan Sobrot D Malioboro, yang dalam sebuah bincang-bincang santai mengatakan bahwa para penyair Jatim masih "lugu", masih berkutat pada persoalan proses kreatif dan melupakan bagaimana membangun hubungan yang sehat dan saling menguntungkan dengan berbagai jaringan kesusastraan di wilayah lain.

Ketiga, para birokrat kesenian di Jatim (Surabaya khususnya) dan lembaga-lembaga keseniannya dengan segala macam festival yang pernah diadakannya, belum mampu membangun citra dan imaje dunia sastra (kesenian) Jatim yang sesungguhnya. Mereka masih terjebak dalam penyelenggaraan festival yang bersifat "proyek" demi kepentingan kapitalistik belaka.

Keempat, lembaga-lembaga kesenian semacam Dewan Kesenian Jatim, Dewan Kesenian Surabaya, Taman Budaya Jatim, Galeri 66 dan semacamnya gagal membangun jaringan yang baik dengan link-link kesenian (kebudayaan) lain. Dan yang kelima, lembaga-lembaga kesenian di Jatim kurang optimal melibatkan kalangan akademis utamanya fakultas-fakultas sastra dan seni di Jatim untuk lebih giat membangun ruang publik.

Kalau persoalan-persoalan yang saya sebutkan di atas tak segera diatasi, maka selamanya dunia kepenyairan-kesastraan (juga kesenian!) di Jatim tak akan tergapai dalam perbincangan kesusastraan dunia. Sehebat apa pun sastrawan-sastrawan yang dipunyai Jatim akan tetap tak terdengar! Tetap menjadi marginal!

TJAHJONO WIDARMANTO Penyair, dosen STKIP, dan guru, tinggal di Ngawi.
Selasa, 14 Mei 2002, Kompas Jawa Timur

Membumikan Kembali Sastra Religius

Oleh OYOS SAROSO HN

Sejarah menunjukkan bahwa jejak sastra sufistik sekaligus tragedi sastra di Nusantara sudah ada sejak ratusan tahun silam, jauh sebelum "jabang bayi" negara-bangsa Indonesia dibayangkan oleh para pemuda nasionalis-pejuang. Karena dianggap menyebarkan ajaran tasawuf yang menyesatkan, sufi besar Hamzah Fansuri (1607-1636) dienyahkan oleh Sultan Iskandar Muda. Nasib tragis dialami Fansuri serupa dengan apa yang dialami Al-Halaj. Jejak Fansuri masih tersisa dan tapaknya bisa dirunut sampai sekarang lantaran karya-karyanya masih banyak yang berhasil diselamatkan oleh para pengikutnya. Sejarah kemudian mencatat upaya menghilangkan Fansuri dari sejarah telah sia-sia. Namanya justru harum dan dikenal sebagai sufi besar yang pengaruhnya mencakup seluruh Nusantara.

Kisah Hamzah Fansuri di atas setidaknya menjadi semacam prawacana untuk mendedahkan kembali isu tentang peran sastra sufi-regilius, sastra profetik, atau sastra yang digali dari sumber agama dalam konstelasi sosial-politik. Lebih mikro lagi, untuk menjawab sebuah pertanyaan: perlukah dikotomi sastra sufi-nonsufi? Adakah sastra sufistik itu bagi kehidupan manusia? Di tengah maraknya fenomena pengagungan terhadap lirisisme dalam dunia puisi Indonesia dan pemujaan terhadap mitologi dalam prosa saat ini, saya kira mendedahkan kembali sastra sufistik-religius sangat relevan. Setidaknya, bisa mengurangi salah paham tentang sastra sufi atau sastra religius. Lebih jauh lagi, sastra religius diharapkan tidak terus ditempatkan dalam ruang sempit yang mungkin tanpa udara.

Para penerus
Setelah Fansuri, jejak sufistik-religius masih tampak pada Amir Hamzah. Selanjutnya, dalam telikungan polemik tentang estetika Barat atau Timur yang akan dianut para sastrawan dan pemikir, sastra sufistik tak begitu bergaung. Jejaknya menampak lagi setelah Abdul Hadi WM dengan sangat telaten kembali memungut remah-remah sejarah dan mengonstruksikannya ke dalam sebuah wacana dan proses kreatif pada dekade 1980-an. Lewat Harian Berita Buana, Abdul Hadi WM rajin "mengampanyekan" apa yang diyakininya sebagai upaya "menuju ke Sumber". Sumber yang dimaksud tak lain adalah jalan sufi, tasawuf, jalan Tuhan.

Geliat sastra sufistik-religius tampak jelas dalam dekade 1970-an, meski pembangunan wacana sastra sufistik sendiri baru gencar dilakukan pada dekade 1980-an oleh Abdul Hadi WM. Ketika itu Abdul Hadi memang hanya memfokuskan diri pada regiusitas-sufistik. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, wacana sufistik yang bergulir sejak 1980-an itu kemudian mendapatkan banyak pengikut dan lebih cair. Generasi 1970-an yang karya-karyanya memiliki kekuatan sufistik-religius dalam barisan ini tentu adalah Abdul Hadi WM, Danarto, Kuntowijoyo, Sutardji Calzoum Bachri, Emha Ainun Nadjib, Hamid Jabbar, dan M Fudoli Zaini. Juga generasi 1980-an, antara lain adalah Ahmadun Yosi Herfanda, Isbedy Stiawan ZS, Soni Farid Maulana, Acep Zamzam Noor, dan Endang Supriyadi. Termasuk dalam barisan ini adalah KH Musthofa Bisri, yang meskipun seusia Danarto tetapi lebih dikenal sejak era 1980-an.

Beberapa penyair dan cerpenis pun kemudian sempat "ditasbihkan" sebagai sastrawan sufistik dan memiliki karya yang dianggap masterpeace. Puisi Tuhan, Kita Begitu Dekat/ karya Abdul Hadi WM dan sajak Sembahyang Rumputan-nya Ahmadun Yosi Herfanda, misalnya, sangat kuat dimensi sufistiknya dan sering dijadikan puisi wajib dalam pelbagai lomba baca puisi. Demikian juga dengan cerpen Kecubung Pengasihan-nya Danarto, banyak dieksplorasi oleh kelompok-kelompok teater di Tanah Air untuk dipentaskan. Danarto menjadi perbincangan cukup luas terutama setelah karya masterpeace-nya, Godlob (1975), dinilai kritikus membawa warna baru dalam estetika sastra Indonesia. Sifat-sifat sufistik juga masih sangat kuat dalam karya-karya Danarto lain yang terkumpul dalam Adam Makrifat (1982), Berhala (1987), Gergasi (1996), dan Setangkai Melati di Sayap Jibril (2000). Juga dalam novelnya, Asmaraloka (1999). Hingga kini, Danarto dan sastrawan yang melahirkan karya-karya sufistik-religius dari generasi pertama masih terus menulis dan mempublikasikan karya.

Generasi 1990-an yang karya-karyanya mengandung nilai religius yang kuat antara lain Radhar Panca Dahana, Ahmad Nurullah, Jamal D Rahman, Abidah el Khalieqy, Abdul Wachid BS, Ahmad Syubbanuddin Alwi, Eddy A Effendi, Tjahjono Widarmanto, Tjahjono Widianto, dan Moh Syafari Firdaus. Termasuk dalam generasi terbaru adalah Helvy Tiana Rossa, dan Amin Wangsitalaja (teruma sajak-sajak awalnya). Bagaimana dengan generasi 2000-an? Ini agak aneh. Meski banyak penyair, cerpenis, dan novelis baru bermunculan pada era 2000-an, kita agak sulit menemukan penulis baru yang intens menulis karya-karya sufistik-religius dari generasi ini. Yang muncul justru menguatnya lirisisme yang membangun puisi-puisi romantik.

Penyair yang memiliki kekuatan lirik di paruh awal tahun 2000-an hingga kini antara lain Raudal Tanjung Banua, Jimmy Maruli Alfian, dan Dina Oktaviani. Sayangnya, tema-tema yang mereka garap umumnya masih seputar romantisme. Mereka melanjutkan tradisi lirik Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Soni Farid Maulana, Sitok Srengenge, Agus R Sarjono, dan Zen Hae. Sementara di dunia prosa, yang cukup menjanjikan antara lain Puthut EA, Eka Kurniawan, Raudal Tanjung Banua, dan Zen Hae. Yang perlu mendapatkan catatan adalah booming estetika puitik model Afrizal Malna yang melahirkan apa yang disebut sebagai Afrizalian pada tahun 1990-an ternyata tidak membuat karya-karya religius surut. Dunia sufistik-religius seolah menjadi sumur yang tak pernah kering untuk terus digali oleh para sastrawan Indonesia hingga hari ini.

Pertanyaannya kemudian, mengapa setelah lebih dari dua dasa warsa menjadi perbincangan publik sastra tetapi hingga hari ini perdebatan tentang sastra sufistik-religius belum selesai? Seolah-olah di rimbun wacana sufisme dan religiusitas tersimpan misteri. Mungkin akibat salah proses pembacaaan. Mungkin juga tersebab oleh proses membaca yang belum tuntas. Kesalahan membaca, misalnya, terjadi dalam acara Temu Sastrawan Mitra Praja Utama (MPU), yang diadakan oleh Forum Kesenian Banten serta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, di Hotel Patra Jasa Anyer, 26-29 Juli 2004. Dalam forum itu, Binhad Nurohmat menolak adanya dikotomi sastra religius dengan sastra-nonreligius. Penolakan yang kemudian diluruskan oleh Abdul Hadi dan Ahmadun itu, menurut saya, disebabkan oleh simplifikasi pandangan Binhad tentang sastra religius.

Dua tahun lalu, penolakan yang hampir sama juga dilakukan oleh Ribut Wijoto (Situs Jaringan Islam Liberal, 20/1/2002). Menurut Wijoto, tak ada sastra religius. Sebab, katanya, regilius berada di dataran etika, sementara sastra berada di tataraan estetika. Menurutnya, religi-etika menciptakan pagar, sedangkan sastra-estetika membongkarnya. Sastra merayakan kerapuhan sedangkan religi memperkokohnya kembali. Pendapat Binhad dan Ribut Wijoto mengandaikan bahwa sebagai manusia kreator, sastrawan berada dalam ruang yang terbagi. Padahal, realitasnya, manusia merupakan makhluk monodualis. Ia terdiri atas badan dan jiwa yang tak mungkin dipisahkan. Konsekuensinya, jika menuruti alur pikiran Binhad, maka seorang sastrawan sufi-religius dalam kehidupan sehari-hari (setiap saat) harus selalu religius. Ia harus berada dalam dunia para sufi, yang melakukan pengasingan diri dari hiruk-pikuk manusia.

Salah satu inti ajaran tasawuf yang diajarkan pada sufi adalah wahdatul wujud (menyatunya hamba dengan Tuhan). Itulah puncak ekstase, mabuk paling puncak yang dirindukan para penganut jalan sufi. Lantaran manusia mengandung unsur badan dan roh (material dan spiritual), maka tak mengherankan jika Mohamad Iqbal dan YB Mangunwijaya mengatakan bahwa semua karya sastra pada dasarnya adalah religius. Pendapat Iqbal dan Romo Mangun dipertegas oleh filosof Islam, Shadr Al-Muta'alihin Asy-Syirazi. Menurut Asy-Syirazi, antara material dan spiritual tidak ada garis pemisah. Keduanya merupakan dua tingkap "keberadaan". Meskipun roh itu nonmaterial, ia memiliki hubungan material. Sebab, ia adalah tahap tertinggi penyempurnaan materi dalam gerak subtansialnya. Menurut Asy-Syirazi, ruh yang merupakan sisi nonmaterial manusia adalah produk gerak. Adapun gerak itu sendiri merupakan jembatan antara materialitas dan spiritualitas.

Akhirnya kita juga bisa memahami mengapa seorang sastrawan tidak bisa mengabdikan sepenuh hidupnya untuk menciptakan karya-karya religius. Sebab, selain malaikat dan para Rosul, manusia adalah makhluk yang dhoif. Meski begitu, ada beberapa manusia yang dikarunia kemampuan lebih untuk melakukan penyatuan diri dengan Allah. Sastrawan pada dasarnya seorang perindu. Baik terhadap hal-hal yang kasat mata maupun pada hal-hal yang bersifat Ilahiah. Itulah sebabnya, Rintrik, tokoh Danarto dalam cerpen Kecubung Pengasihan, tak malu-malu mengatakan bahwa ia rindu syahfat yang besar, yakni bertemu dengan Allah. Nah, bukankah selama ini banyak penyair dan cerpenis Indonesia yang mengungkapkan kesatuan-kerinduan-Nya dengan Khaliqnya?

Sampai pada titik ini, semestinya debat panjang tentang ada tidaknya sastra religius dan seberapa besar pengaruh sastra religius bagi kehidupan bisa diakhiri. Sudah saatnya pengertian sufisme dan religiusitas dalam karya sastra lebih dicairkan sehingga tidak terus membeku dalam ruang sempit lantaran berada dalam tataran hablumminallah. Tataran itulah yang selama ini menjadi acuan kunci para sastrawan sufistik semacam Jallaludin Rummi, Fariduddin Attar, Rabiah Al Adawiyah, Ibnu Arabi, dan Hamzah Fansuri.

Selain hubungan yang bersifat transenden yang dibungkus bingkai hablumminallah, sejatinya manusia masih berpijak dalam kehidupan riil dan harus mengembangkan hubungan yang lebih bersifat hablumminannas (hubungan dengan sesama makhluk dan manusia). Jadi, setelah jejak sufistik dan religiusitas diretas dalam waktu yang begitu panjang, sudah saatnya kini kita kembali membumikan sastra sufistik. Apa yang dilakukan Afrizal Malna dengan menengok kembali ke kampung halaman dan bersentuhan langsung dengan problem-problem sosial masyarakat desa, saya kira, merupakan salah satu upaya untuk kembali ke Sumber. Yakni sebuah akar "kesejatian manusia".

Kesempurnaan manusia sejati adalah ketika dia mampu mengagregasikan kasih sayang, sikap rendah hati, kearifaan, kedermawanan ke dalam dirinya. Semua itu bisa dilakukan oleh sastrawan lantaran mereka memiliki kekuatan olah batin dan kemampuan menaklukkan bahasa Namun, upaya itu bukanlah masalah gampang. Sebab, banyak sastrawan muda yang kini tertular penyakit lama: sudah merasa besar dan tak perlu belajar lagi. Asal bersuara lantang dan bicara aneh maka "sastrawan besar" itu akan ditengok orang dan dicap sebagai pembaru estetika!***

Penulis, penyair dan penikmat sastra
HU Republika, Minggu, 07 Nopember 2004