Selasa, 10 Juli 2007

Festival Teater Kampus IKIPN Singaraja Mengolah Puisi dalam Panggung Mahasiswa

Karena puisi, seorang lelaki dan seorang perempuan yang mungkin baru pertama kali bertemu akhirnya merasa begitu akrab. Merasa punya kemiripan masa silam dan masa romantis yang memiliki hubungan sebab-akibat begitu lekat. Karena puisi, sepasang lelaki-perempuan merasa punya nasib yang sama, kesedihan, rasa geram, kebencian, ketakutan dan pemberontakan yang sama kepada tirani penindas yang serupa di negeri yang berwajah lembut bagai bayi, bertangan halus dan bersih, seakan-akan terbebas dari dosa.

BEGITU esensi dari naskah teater "Orang Malam", sebuah lakon pendek karya Soni Farid Maulana yang dipentaskan dengan cukup berhasil oleh Teater Kulit dalam Pestival Teater Kampus di Aula IKIP Negeri Singaraja, Jumat (26/9) malam. Keberhasilan grup teater dari mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia Fakultas Seni dan Bahasa IKIPN Singaraja ini terlihat dalam interpretasi naskah, terutama dalam pencernaan kalimat-kalimat puitis untuk dipanggungkan menjadi tontonan yang memikat.

Soni Farid Maulana, salah seorang sastrawan Indonesia terkemuka saat ini, memang dikenal sebagai penulis naskah drama yang sarat dengan dialog-dialog puitis karena ia sendiri kerap juga menulis puisi dan kritikus sastra. Kalimat-kalimat Soni bukanlah dialog realis yang bisa dicerna dalam sekali dengar sehingga memerlukan penataan yang serius dalam olah voKal dan membutuhkan dukungan serius pula dari gesture, mimik dan bloking yang mamadai.

Kisah ini dimulai saat Kimung (lelaki yang diperankan Sumita Adnyana) mengabarkan penantian 750 tahun di sebuah taman kota. Sebuah kesepian yang panjang. Malam selalu bersambung malam, dingin dan sepi bagai sebutir batu di dasar kali. Ia ingat seorang perempuan yang sempat ditemui dan kemudian berpisah pada suatu saat sehabis kerusuhan. Perempuan itu bernama Dirah (diperankan Wiliani), seseorang yang kelak diketahui sempat menjadi korban sebuah tirani. Masuk ke taman kota, mereka bertemu di taman kota itu. Lalu saling mengingatkan dengan puisi-puisi tentang cinta, kesepian, penindasan, kerinduan, yang dulu pernah mereka tulis. Keduanya bercerita tentang masa lalu yang pekat oleh bau pesing penjara, desing peluru, lemparan batu, aroma darah perkosaan dan peristiwa pahit di sebuah negeri yang berwajah bersih. Sebuah negeri yang mereka huni sejak 750 tahun lalu.

Kekuatan puisi dalam naskah Soni dibangun dalam kalimat yang penuh ide dan perenungan filosofis. Dan sutradara Ayu Supendi tampaknya sudah sangat berupaya mengolah kekuatan puisi untuk diperkenalkan dalam tata panggung yang memikat. Meski pada awalnya permainan Kimung (lelaki yang diperankan Sumita Adnyana) dan Dirah (perempuan yang diperankan Wiliani) tampak hambar dengan dialog (atau monolog) yang kurang menggigit. Namun setengah pementasan terakhir, dua pemain utama ini menampilkan pementasan puisi yang memukau.

Klimaks dari keberhasilan dua pemain ini tampak pada adegan penutup. Kimung dan Dirah saling menggapai, sebuah peristiwa puitik ketika kerinduan hendak ditumpahkan dari kubang penantian beratus-ratus tahun. Adegan ini dibangun ketika Dirah merangkak dari bawah panggung dan Kimung tergerus dari atas, lalu keduanya bertemu di bibir panggung. Pementasan ditutup ketika Dirah tak benar-benar sampai di atas dan Kimung tak sungguh-sungguh terjerumus ke bawah. Cukup mengesankan.

Pengetahuan Dasar
IKIPN Singaraja cukup beruntung memiliki Hardiman, dramawan dosen yang intens melakukan kegiatan pelatihan dasar teater kepada mahasiswanya. Sebagian besar pelatihan dasar teater yang diajarkan Hardiman inilah yang dijadikan modal bagi kelompok teater mahasiswa yang ikut meramaikan Festival Teater Kampus Seribu Jendela ini. Terdapat enam grup yang dipentaskan sejak Senin (22/9) hingga Minggu (28/9) ini, yang seluruhnya menampilkan pementasan yang hanya mengandalkan spekulasi dramatik, tanpa mempertimbangkan unsure-unsur penting dalam teater.

Hanya Teater Kulit tampaknya memiliki pengalaman yang lebih banyak dalam olah panggung ketimbang grup lainnya. Namun karena naskahnya cukup berat untuk ukuran kelompok yang hanya sekali-kali saja melakukan pementasan, toh terdapat sejumlah kelemahan, terutama dalam bloking yang melulu vertikal -- meminjam istilah Hardiman -- sehingga ceritanya nyaris terdengar tanpa konflik. Tak ada upaya membangun fokus ketika terjadi dialog antara Kimung dan Dirah, misalnya dengan mendekatkan kedua tokohnya dalam adegan teatrikal yang mengental, membulat dan padu.

Dalam hal ini sutradara menerapkan siasat keliru, seperti diungkapkan dalam dialog dengan penonton usai pementasan. Sutradara mengaku sengaja melakukan bloking vertikal karena ingin mengacaukan konsentrasi penonton untuk di bawa ke dalam fokus yang dianggapnya lebih penting pada akhir pementasan. Tapi sutradara tak berpikir, bagaimana kalau penonton keburu beranjak dari tempat duduk sebelum sempat menyaksikan adegan terakhir? (Adyana Ole)

HU Bali Pos, 28 September 2003

Tidak ada komentar: