Kamis, 12 Juli 2007

Soni Farid Maulana, "Puisi Membaskan Batin Saya!"

SONI FARID MAULANA termasuk salah seorang penyair penting dari generasi tahun 1980-an. Ia segenrasi dengan penyair Acep Zamzam Noor, Nirwan Dewanto, Dorothea Rosa Herliany, Joko Pinurbo, Isbedy Stiawan ZS, Agus R. Sardjono dan Ahmadun Yosi Herfanda. Di bawah ini percakapan kecil dengan penyair tersebut saya tuliskan, untuk keperluan yang lebih luas. Puisi-puisi yang ditulisnya banyak sudah dibahas orang, baik dalam bentuk esai, skripsi, maupun disertasi. Salah seorang penulis asing yang menulis puisi Soni Farid Maulana untuk disertasinya adalah Ian Campbell dari Australia. Puisinya selain diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, juga kedalam bahasa Jerman dan Belanda. Antara lain diterjemahkan oleh Dr. Berthlod Damshauser dan Prof. Dr.A. Teeuw

Susiana Puspitasari: “Sehampar Kabut” masuk dalam Lima Besar Khatulistiwa Literary Award 2005-2006. Bagaimana perasaan Anda?

Soni Farid Maulana: Alhamdulillah, senang. Kumpulan puisi tersebut terbit setelah antologi puisi “Secangkir Teh”.

Susiana Puspitasari: Sejak kapan Anda mulai menulis puisi?

Soni Farid Maulana: Sejak tahun 1976.

Susiasana Puspitasari: Kalau boleh saya tahu, siapa penyair yang Anda kagumi saat ini?

Soni Farid Maulana: Ada banyak. Di antaranya Rendra, Wing Kardjo, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Baudelaire, Rumi, Hafiz, Sana’i, Tufu, Sutardji Calzoum Bachri, Pablo Neruda, dan lain-lain.

Susiana Puspitasari: Apa yang menggerakkan hati Anda menulis puisi?

Soni Farid Maulana: Saya tidak tahu. Saya tidak bisa mengatakannya. Tapi yang jelas selalu ada sesuatu yang ingin saya ekspresikan di atas kertas. Jika batin saya hamil oleh sebuah pengalaman, maka pengalaman itu ada kalanya saya ekspresikan dalam bentuk puisi atau cerita pendek. Yang jelas, dengan menulis puisi atau cerita pendek batin saya merasa dibebaskan dari sebuah pengalaman yang entah apa namanya, yang melahirkan rasa bahagia di hati saya.

Susiana Puspitasari: Sejak kapan Anda berkenalan dengan puisi?

Soni Farid Maulana: Sejak anak-anak. Nenek saya tercinta, almarhumah Oneng Rohana adalah guru tembang Sunda cianjuran. Nenek saya sering meminta saya untuk membaca lirik-lirik tembang tersebut yang ditulis dalam bahasa Sunda. Jadi puisi yang pertamakalinya saya baca itu, ya, yang ditulis dalam bahasa Sunda. Setelah masuk SMP saya kemudian mengenal Chairil Anwar, Amir Hamzah, Sapardi Djoko Damono, dan Rendra. Setelah kuliah di Jurusan Teater STSI Bandung baru mengenal Goenawan Mohamad, Sutardji Calzoum Bachri, Baudelaire, Abdul Hadi W.M., Tufu, dan Wing Kardjo. Bahkan puisi-puisi Saini KM pun saya baca ketika saya kuliah di Jurusan Teater STSI Bandung. Saini KM dosen saya.

Susiasana Puspitasari: Setelah “Secangkir Teh” dan “Sehampar Kabut” kumpulan puisi apa yang tengah Anda tulis?

Soni Farid Maulana: “Angsana.” Kumpulan puisi tersebut diterbitkan oleh Ulitimus, Bandung.

Susiana Puspitasari: Kalau dari generasi Anda, siapa penyair yang Anda sukai puisi-puisinya?

Soni Farid Maulana: Banyak. Antara lain saya suka membaca puisi Acep Zamzam Noor, Dorothea Rosa Herliany, Agus R. Sardjono, Joko Pinurbo, Nirwan Dewanto, Sitok Srengenge, dan Binhard. Saya kagum pada mereka yang begitu fasih memainkan kata.

Susiasana Puspitasari: Anda sendiri tidak fasih?

Soni Farid Maulana: Tidak. Puisi saya sederhana. Kata orang terlalu sederhana.

Susiana Puspitasari: Anda merendah?

Soni Farid Maulana: Tidak. Saya berkata jujur.

Malam begitu dingin saat itu. Percakapan demi percakapan mengalir hingga larut malam di sebuah café, di Bandung Utara.***

1 komentar:

D'Rimba mengatakan...

Saya suka puisi..........