Selasa, 10 Juli 2007

Bandung & ”Biennale Sastra Internasional 2005”

Oleh SONI FARID MAULANA

DIAKUI atau tidak, Bandung mempunyai peran yang cukup penting dalam perkembangan dan pertumbuhan sastra Indonesia, khususnya dalam bidang puisi. Hal itu tidak hanya terlihat dari munculnya berbagai aktivitas yang menggemparkan di tahun 1970-an, seperti diselenggarakannya acara "Pengadilan Puisi" yang melambungkan nama penyair Sutardji Calzoum Bachri dan Abdul Hadi W.M., serta munculnya gerakan puisi mBeling yang digagas oleh penyair Remy Silado dan Jeihan Sukmantoro, tetapi juga jauh sebelumnya, penyair Saini KM sudah aktif mengadakan kegiatan penyemaian benih para penulis puisi lewat rubrik Kuntum Mekar, dan Pertemuan Kecil. Kedua rubrik yang diasuhnya itu ada di HU Pikiran Rakyat.

Dari generasi ke generasinya kegiatan puisi di Bandung tak putus-putusnya diselenggarakan orang. Forum demi forum sastra pun bermunculan. Dalam sastra Indonesia antara lain, lahir Komunitas Swawedar digagas oleh Anton D. Sumartana, Kelompok Pengarang Bandung (KPB) digagas oleh Diro Aritonang, Yessi Anwar dan Beni Setia, Kelompok Sepuluh digagas oleh Moh. Ridlo 'Eisy dan Herry Dim, serta Forum Sastra Bandung (FSB) digagas oleh Juniarso Ridwan, almarhum Sanento Yuliman, dan Agus R. Sardjono. Di luar itu, tentu saja masih ada kelompok-kelompok lainnya yang digarap oleh para mahasiswa di kampus-kampus, seperti Group Apresiasi Sastra (GAS) ITB, yang terkenal pada zamannya, melahirkan gerakan puisi bebas yang menggemparkan itu. Gerakan ini, setidaknya merupakan jawaban atas gerakan puisi konkret yang digagas oleh Sutardji Calzoum Bachri, Danarto, dan Abdul Hadi W.M., yang digelar di TIM, Jakarta pada tahun 1970-an.

Tentu saja, apa yang berkembang di Bandung dalam bidang sastra itu, tidak hanya dalam bidang sastra Indonesia saja. Sastra Sunda pun tumbuh dengan sejarahnya sendiri. Kadang para sastrawannya, selain menulis karya sastra dalam bahasa Sunda, juga menulis dalam bahasa Indonesia. Adanya kenyataan semacam ini, memberikan satu bukti bahwa kehidupan sastra di Bandung selalu hangat dialog, meski pada akhirnya dialog itu pada sisi-sisi tertentu tidak selalu dibuka di ruang publik.

Paling tidak, itulah sekilas tentang kegiatan sastra di Bandung, khususnya dalam bidang puisi Indonesia sejak pertengahan tahun 1960-an hingga akhir tahun 1990-an. Pada awal tahun 2000, lebih tepatnya pada tahun 2002, Rendra memandang penting Kota Bandung sebagai kota yang hidup dalam kegiatan puisi. Untuk itu, ia tidak ragu pada tahun itu memilih Kota Bandung sebagai salah satu kota yang menggelar acara Puisi International Indonesia (PII), yakni sebuah acara festival puisi internasional, yang mendatangkan sejumlah penyair dari Belanda, Jerman, Malaysia, dan Indonesia. Acara ini selain digelar di Bandung, juga digelar di Solo dan Makassar.

"Digelarnya acara PII di Kota Bandung, karena apresiasi puisi cukup hidup. Adanya kelompok-kelompok sastra, seperti Forum Sastra Bandung (FSB) telah memberikan warna tersendiri bagi perkembangan dan pertumbuhan sastra itu sendiri, seperti apa yang sudah ditunjukkan lewat penerbitan buku-buku puisi yang diproduksinya. Dari Bandung ada banyak penyair dari generasi kemudian yang pertumbuhannya cukup menggembirakan," ujar Rendra pada saat itu.

**

Memasuki tahun 2005, Komunitas Utan Kayu (KUK) memandang penting hadirnya Kota Bandung dalam jagat puisi Indonesia dewasa ini. Pada 26-27 Agustus 2005 mendatang, kalau tidak ada aral melintang, KUK memilih Selasar Sunaryo Art Space sebagai tempat acara "Biennale Sastra Internasional Utan Kayu 2005" yang diberi tema Living Together.

"Diselenggarakannya festival sastra berskala internasional ini dimaksudkan untuk mewujudkan makna esensial yang terkandung di dalam sastra, yakni upaya memahami keberadaan manusia dan semestanya. Dengan mengambil tema Living Together (hidup bersama), dimaksudkan festival ini menjadi upaya perluasan dari pemahaman tadi. Sebab, tak seorang pun di dunia ini bisa hidup sendiri. Saling ketergantungan antarmanusia akan menjelma kerja sama yang seimbang, harmonis, dan indah, apabila masing-masing pihak memiliki pemahaman dan kesetaraan. Sastra mempunyai tenaga yang besar untuk mengeratkan interaksi antarmasyarakat yang beradab karena sastra merupakan salah satu bentuk ekspresi manusiawi yang murni dan berdaya jangkau lintas ideologi, agama dan bangsa," jelas Sitok Srengenge, Direktur Pelaksana Utan Kayu International Literary Biennale 2005, dalam surat elektroniknya.

"Pada 2005, program ini akan diadakan di 3 kota di Indonesia, dengan mengundang berbagai ragam penyair dan penulis dari Indonesia serta dari lingkup internasional. Festival akan berlangsung di Bandung (Jawa Barat) dan Lampung, (Sumatra Barat) sebelum diakhiri di Jakarta. Di Lampung, Komunitas Utan Kayu akan bekerja sama dengan Komunitas Rumah Panggung dan di Bandung dengan Selasar Sunaryo Art Space. Sebagaimana festival sebelumnya, Winternachten Oversee akan berperan serta. KUK bekerja sama dengan sejumlah kedutaan besar dan pusat-pusat kebudayaan untuk mendatangkan penulis-penulis dan penyair Internasional ke Indonesia. Semua karya yang dibacakan akan diterjemahkan dan hasilnya akan ditampilkan melalui layar proyektor sepanjang pementasan, serta akan diterbitkan dalam buku kecil untuk para penonton," jelasnya dalam kesempatan yang lain, dalam percakapannya dengan penulis beberapa waktu lalu di CCF de Bandung.

Untuk pertama kalinya, katanya lebih lanjut, acara tersebut digelar KUK pada tahun 2001. Sejumlah penulis dan penyair dari Indonesia dan sembilan dari mancanegara mengadakan pementasan di Jakarta dan Yogyakarta. Program tahun 2001 ini merupakan kolaborasi antara KUK dan Winternachten, Den Haag Belanda. Pada tiap lokasi, para peserta menampilkan pembacaan dinamis karya mereka dan melakukan diskusi dengan penonton/audiens. Karya dari penulis asing diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk penonton dan ditampilkan melalui layar proyektor pada saat mereka membacakan karya. Demikian pula sebaliknya. Satu buku kumpulan karya yang dibacakan selama festival diberikan kepada tiap hadirin dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris.

Sukses dengan acara tersebut, dua tahun berikutnya, KUK mengadakan acara serupa dengan partisipasi dari Winternachten dan Vienna Poetry School, Austria. Pada tahun itu festival sastra berlangsung di tiga kota, Denpasar, Solo, dan Jakarta. Pada 2003 Festival ini menampilkan sebagian dari karya sastra dan puisi terbaik dari Indonesia, meliputi penulis dan penyair terkemuka seperti Sapardi Djoko Damono dan Putu Wijaya juga para pendatang baru yang penting. Peserta dari luar Indonesia datang dari Afrika Selatan, Belanda, Suriname, Kepulauan Antilles, Jerman, Austria, dan Malaysia. Sekali lagi, semua karya para peserta diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris atau Indonesia dan ditampilkan ke layar proyektor di belakang para peserta yang melakukan pementasan dan diterbitkan dalam sebuah buku kecil untuk penonton.

Adapun para sastrawan yang akan tampil di Bandung (26 - 27 Agustus 2005) adalah, A.S. Laksana, Saini KM, Nur Wahida Idris, H.U. Mardiluhung, Mona Sylviana, Eka Kurniawan, Soni Farid Maulana, Godi Suwarna dan Kurnia Effendi. Di Lampung (29- 30 Agustus 2005), Marhalim Zaini, Inggit Putria Marga, Isbedy Stiawan ZS, Jimmy Maruli Alfian, Tan Lioe Ie, Dinar Rahayu, Martin Aleida, dan Shinta Febriany. Di akarta (1- 3 September 2005), Teater Mandiri, Azhari, Iswadi Pratama, Gunawan Maryanto, Afrizal Malna, Dewi Lestari, Landung Simatupang, Arswendo Atmowiloto, Budi Darma, N.Riantiarno, dan Hamsad Rangkuti. Sedangkan para penyair asing yang akan hadir di tiga kota tersebut ada delapan orang. Beberapa di antaranya yang sudah konfirmasi adalah penyair Frank Martinus Arion (Curagao - Netherlands Antilles) Ramsey Nasr (Netherlands), Antjie Krog (South-Africa), Ellen Ombre (Suriname/Netherlands), dan wakil dari Winternachten adalah Wilma Scheffers, Ton van de Langkruis (Netherlands) serta Music-programmer Francis de Souza. "Selain mereka masih ada penyair-penyair lainnya seperti dari Australia dan beberapa negara lainnya. Mereka masih dalam konfirmasi," jelas Wikan, dalam surat elektroniknya, salah seorang panitia acara tersebut.

**

LEPAS dari semua itu, digelarnya acara-acara sastra berskala nasional maupun internasional di Bandung, setidaknya mempunyai arti yang cukup penting bagi para apresiator puisi yang ingin mendengarkan secara langsung bagaimana para penyair membacakan puisi-puisi yang ditulisnya dengan gayanya yang khas dan memikat. Dalam Puisi International Indonesia yang digelar di Bandung pada tahun 2002 lalu itu, penampilan penyair Hamid Jabbar almarhum dan Godi Suwarna benar-benar memikat perhatian, bukan karena disebabkan puisi yang ditulis oleh kedua penyair tersebut menarik, tetapi juga oleh warna vokal mereka serta cara penghayatannya dalam mengekspresikan setiap larik demi larik puisi yang dibacanya di atas pentas. Rendra sendiri pada saat itu lebih menahan diri untuk tampil ekspresif. Ia justru tampil apa adanya, namun terasa kontemplatif ketika ia membacakan beberapa puisi terjemahan dari para penyair Belanda atau Jerman.

Ketika puisi-puisi itu dibacakan dengan vokal yang jernih, kata-kata yang didengar oleh para apresiatornya seringkali bertaut dengan sejumlah kenangan yang mendadak muncul dalam benak mereka. Untuk itu, puisi sekalipun ia berupa sebuah dunia yang privat, nyatanya selalu menyisakan semacam celah, bagi seseorang atau siapa pun untuk masuk ke dalamnya, berasyikmasyuk di situ, apa pun makna yang didapatnya.

Lantas Winternachten Oversee itu apa? Ia adalah semacam lembaga kesenian yang didirikan oleh sejumlah seniman dan aktivis seni di Belanda, yang setiap tahunnya menyelenggarakan acara Festival de Winternachten baik yang digelar di Den Haag Belanda, atau di beberapa negara lainnya, yang dulunya punya kaitan erat dengan sejarah Belanda, khususnya negara-negara bekas jajahan Belanda. Acara yang digelar dalam festival tersebut tidak hanya melulu menggelar karya sastra, tetapi juga menampilkan pertunjukan musik, teater, dan juga musik. Sejumlah seniman Indonesia banyak sudah yang diundang ke sana, termasuk beberapa seniman dari Bandung, seperti Nenden Lilis A, Acep Zamzam Noor, dan A. Rahmaiani.

Adapun Komunitas Utan Kayu (KUK), ia adalah sebuah pusat kebudayaan swasta yang memulai aktivitasnya sejak 1993. Pada masa Orde Baru, ia merupakan pusat perlawanan terhadap rezim militer Presiden Soeharto. Kegiatan-kegiatan budaya pada masa itu berfungsi sebagai pengalihan atau kamuflase dari aktivitas-aktivitas politik ISAI (Institut Studi Arus Informasi), yang disamarkan dengan membangun gedung galeri seni Komunitas Utan Kayu. Meskipun Orde Baru telah berakhir, tekanan dan intimidasi masih terus berlangsung.

Dalam menjalankan programnya, KUK bekerja untuk mencapai masyarakat Indonesia yang lebih terbuka, bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di kota-kota lain melalui kerja sama yang bersifat semi otonom dengan pusat-pusat kesenian yang ditujukan untuk mengembangkan kebebasan berekspresi di luar ibu kota.

Selain menggelar Biennal Sastra International, KUK juga akan bekerja sama dengan Prince Claus Fund untuk menyelenggarakan Festival Wayang Internasional (April 2006), Festival Film Pendek(September 2006), dan juga Bienal Sastra Internasional yang keempat (Agustus 2007), serta akan menerbitkan edisi khusus jurnal Prince Claus dengan tema Living Together, sesuai dengan tema Bienal Sastra 2005.***

Sabtu, 09 Juli 2005, HU Pikiran Rakyat

Tidak ada komentar: