Selasa, 10 Juli 2007

Penyair-penyair Jawa Timur Terabaikan

Catatan Kecil dari Festival Puisi Internasional

Oleh TJAHJONO WIDARMANTO

SEBUAH pesta kebudayaan baru saja lalu. Selama dua minggu, dari tanggal 1-13 April 2002, di tiga kota di Indonesia (Bandung, Surakarta, dan Makassar) digelar sebuah acara baca puisi antarbangsa yang diberi tajuk Festival Puisi Internasional Indonesia 2002. Festival ini melibatkan 45 penyair dari delapan negara, yaitu empat negara Eropa (Jerman, Belanda, Austria, dan Irlandia), tiga negara Asia (Jepang, Malaysia, dan tuan rumah Indonesia), serta satu negara Afrika (Afrika Selatan).

Indonesia diwakili beberapa penyair dari berbagai daerah, yaitu Jakarta, Jawa Barat (Bandung, Sukabumi, dan Sumedang), Jawa Tengah (Yogyakarta, Magelang, Surakarta), Jawa Timur (Madura), Sumatera, dan Sulawesi. Para penyair itu terdiri dari generasi tua dan generasi muda.

Para generasi tuanya (lahir tahun 1950-an ke bawah), kebanyakan memang sudah melegenda dalam publik sastra Indonesia seperti Rendra, Taufik Ismail, Hamid Jabbar, Abdul Hadi WM, Husni Djamaludin, Sapardi Djoko Damono, Sitor Situmorang, Saini KM, Sutardji Calzoum Bachri, Mustofa Bisri, Zawawi Imron, Zeffry J Alkitri, dan Afrizal Malna.

Sedangkan dari generasi mudanya tampil penyair Acep Zam-Zam Noer, Agus R Sardjono, Cecep Syamsul Hari, Dorothea Rosa Herliani, Joko Pinurbo, Sosiawan Leak, Matori A Elwa, Soni Farid Maulana, Oka Rusmini, dan Nenden Lilis Aisyah. Para penyair yang disebut belakangan ini rata-rata lahir pada tahun 1960-an, bahkan ada yang lahir di tahun 1970-an.

Yang menarik, dari para penyair yang diundang, ternyata Jawa Timur (Jatim) hanya diwakili oleh seorang penyair, dan itu pun tergolong penyair generasi tua, yaitu D Zawawi Imron dari Sumenep, Madura. Sedangkan dari daerah lain rata-rata diwakili lebih seorang penyair, dan terdiri dari generasi tua dan generasi mudanya. Misalnya saja, Jakarta. Selain nama-nama sepuh yang sudah melegenda semacam Sapardi Joko Damono, Rendra, juga tampil nama-nama generasi mudanya seperti Agus R Sardjono, Nenden Lilis.

Juga dari Bandung, selain Saini, tampil pula generasi mudanya (bahkan mendominasi) seperti Acep Zam-Zam Noer, Cecep Syamsul Hari, Soni Farid Maulana, dan sebagainya. Bahkan, dari beberapa daerah justru diwakili oleh generasi mudanya, seperti Surakarta dan Bali. Tentu saja hadirnya generasi muda ini amat membanggakan. Mereka kelak akan menjadi tonggak penting dalam melanjutkan mata rantai sejarah kesusastraan Indonesia.

**

NAMUN, alangkah sedihnya saya, mungkin juga masyarakat pecinta sastra di Jatim, ketika melihat bahwa Jatim hanya diwakili oleh seorang penyair saja. Dan itu pun dari golongan sepuh. Tentu saja tulisan ini tak mempersoalkan sosok D Zawawi Imron yang memang amat pantas dan layak mewakili Jatim dalam even besar itu. Namun, saya amat bersedih saat melihat kenyataan bahwa tak satu pun penyair generasi muda dari Jatim yang tampil mendampingi dan menyertai D Zawawi Imron.

Beberapa pertanyaan bersliweran di kepala saya: Ada persolan apa di peta kepenyairan Jatim, sehingga para penyair mudanya "tak terbaca?" Apakah Jatim tak memiliki penyair-penyair muda yang layak dimunculkan? Sudah terputuskah peta kesusastraan Jatim?

Tiba-tiba, saya teringat nama-nama penyair muda yang tersebar di seluruh Jatim, mulai dari Banyuwangi, Gresik, Lamongan, Surabaya, Mojokerto, Madiun, hingga Ngawi. Ada HU Mardiluhung, Hery Lamongan, Indra Tjahyadi, W Haryanto, Beni Setia, Anas Yusuf, Koespriyanto Namma, Tjahjono Widijanto, dan mungkin masih banyak berserak nama-nama lainnya.

Dari segi kualitas pun, nama-nama yang disebut di atas tak bisa dipandang sebelah mata. Karya-karya mereka sudah tersebar di media kebudayaan bergengsi dari Kalam, Horison, Ulumul Qur'an, Jurnal Perempuan, Perisa, Dewan Sastra (Malaysia), Bahana (Brunei Darussalam), hingga lembar-lembar kebudayaan di Kompas, Media Indonesia, Republika, dan sebagainya. Nama-nama itu berkali-kali juga diundang dalam berbagai acara dan festival kesusastraan semacam Mimbar Penyair Abad 21.

Mengapa nama-nama yang saya sebut di atas "tak terjaring" oleh panitia Festival Puisi Internasional Indonesia 2002 itu? Ketlingsut ke manakah nama-nama mereka itu? Ataukah mereka (pihak panitia) memandang remeh, bahwa Jatim tak lagi mempunyai penyair yang bisa diperhitungkan?

Barangkali saja, para penyair Jatim yang saya sebut di atas tak merasa rugi tidak dilibatkan. Namun, dilihat dari kacamata sejarah sastra, amatlah merugikan. Apalagi dari segi kualitas, mereka amat layak ikut serta dalam even itu.

**

LEBIH menyedihkan lagi melihat kenyataan bahwa Surabaya sebagai ibu kota Provinsi Jatim yang notabene kota metropolis kedua setelah Jakarta, tidak bisa menjadi tuan rumah even kebudayaan bertaraf internasional itu. Ironisnya, hampir setiap tahun Surabaya konon menyelenggarakan berbagai festival yang "dikabarkan" dan "digembar-gemborkan" sebagai festival berkelas internasional.

Ketidakikutsertaan para penyair muda Jatim dan tidak dipilihnya Surabaya sebagai tuan rumah dalam even Puisi Internasional Indonesia 2002 ini menunjukkan bahwa ada persoalan-persoalan serius dalam kesusastraan Jatim, khususnya dan kesenian pada umumnya.

Pertama, tidak adanya pengamat sastra (kritikus) dan media yang bisa membangun citra kesustraan Jatim, yang sanggup "mempromosikan" kesusastraan Jatim. Kedua, para sastrawan (penyair) Jatim tak memiliki strategi kesenian yang tepat untuk menjalin network dengan jaringan kebudayaan lain, baik internasional maupun nasional. Dalam hal ini saya sependapat dengan pendapat rekan Sobrot D Malioboro, yang dalam sebuah bincang-bincang santai mengatakan bahwa para penyair Jatim masih "lugu", masih berkutat pada persoalan proses kreatif dan melupakan bagaimana membangun hubungan yang sehat dan saling menguntungkan dengan berbagai jaringan kesusastraan di wilayah lain.

Ketiga, para birokrat kesenian di Jatim (Surabaya khususnya) dan lembaga-lembaga keseniannya dengan segala macam festival yang pernah diadakannya, belum mampu membangun citra dan imaje dunia sastra (kesenian) Jatim yang sesungguhnya. Mereka masih terjebak dalam penyelenggaraan festival yang bersifat "proyek" demi kepentingan kapitalistik belaka.

Keempat, lembaga-lembaga kesenian semacam Dewan Kesenian Jatim, Dewan Kesenian Surabaya, Taman Budaya Jatim, Galeri 66 dan semacamnya gagal membangun jaringan yang baik dengan link-link kesenian (kebudayaan) lain. Dan yang kelima, lembaga-lembaga kesenian di Jatim kurang optimal melibatkan kalangan akademis utamanya fakultas-fakultas sastra dan seni di Jatim untuk lebih giat membangun ruang publik.

Kalau persoalan-persoalan yang saya sebutkan di atas tak segera diatasi, maka selamanya dunia kepenyairan-kesastraan (juga kesenian!) di Jatim tak akan tergapai dalam perbincangan kesusastraan dunia. Sehebat apa pun sastrawan-sastrawan yang dipunyai Jatim akan tetap tak terdengar! Tetap menjadi marginal!

TJAHJONO WIDARMANTO Penyair, dosen STKIP, dan guru, tinggal di Ngawi.
Selasa, 14 Mei 2002, Kompas Jawa Timur

Tidak ada komentar: