Selasa, 10 Juli 2007

Potret Sosial "Variasi Parijs Van Java"

Oleh LUKMAN ASYA

Sabda Goldmann (1973) dalam konteks pembacaan sosiologi sastra saya jadikan sebagai kerangka sandaran dan acuan dalam melakukan pembacaan terhadap puisi Soni Farid Maulana dalam konteks sosial yang berdasarkan pada fakta-fakta historis.

Puisi Soni itu terdiri dari 54 bait dan 183 larik, berjudul Variasi Parijs van Java, terdapat dalam antologi puisi Variasi Parijs van Java (Kiblat, cetakan 1, Februari 2004). Soni Farid Maulana tidaklah seorang diri dalam menyoal Bandung sebagai Parijs van Java. Proses trans-individualnya sebagai subyek lirik yang cermat "berdialektika" dengan lingkungan sosialnya antara kesadaran humanisme dan gempuran pembangunanisme-sebagai tangan kanan kekuasaan-begitu industrialistik.

Tempo doeloe, Ramadhan KH pernah menyoal lingkup Kota Bandung secara narsistik melankolik dalam puisi-puisinya yang terkumpul dalam antologi puisi Priangan Si Jelita. Di sana digambarkan suatu kondisi alam yang elok, sawah-sawah yang menerbitkan rasa damai, pegunungan-pegunungan yang indah, dan hawa udara yang sejuk. Kemakmuran dan kegemburan menjadi tanda dan petanda.

Gambaran alam sosial yang dilukiskan Ramadhan KH itu memang tinggal kenangan. Faktanya, kini telah banyak terjadi perubahan. Fakta itu diperkuat suatu varian pandangan dan pembacaan Soni sebagai penyair dalam puisinya tentang Parijs van Java. Bahkan kenangan alam yang elok itu kini cuma kekal di "buku-buku tua". Salah satu buku yang mengekalkannya adalah yang ditulis Haryanto Kunto, Bandung Tempo Doeloe. Di buku itu segala peristiwa dan keadaan menjadi semacam resminisensi.

Terkontaminasi ambisi

Sebagai penyair terlibat, Soni Farid Maulana adalah subyek lirik yang gundah, menohok langsung kondisi Bandung yang kini sudah terkontaminasi ambisi, nafsu, dan mabuk kekuasaan sehingga Bandung telah kehilangan keparijs-van-javaannya.

Bandung menjadi kota yang penuh gedung-gedung dan mal-mal tanpa memperhitungkan keindahan arsitekturnya. Bandung menjadi bukan si jelita lagi akibat suatu pola kebijakan. Bandung menjadi mirip janda setengah baya dengan jerawat dan bercak-bercak yang tumbuh di wajah dan badan.

Kondisi sosial dapat memengaruhi alam kesadaran manusia. Manusia di satu pihak adalah yang menyebabkan kondisi itu, dan di pihak lain adalah akibat yang mengandung "warna dan goresan hitam maupun putih" sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya dalam tingkatan status sosial.

Kondisi dan suasana yang telah berubah itu dapat menyeret manusia sebagai makhluk sosial ke dalam anxiety, suatu kondisi kecemasan yang impasse. Manusia terkepung antara pembangunanisme dan susahnya mengendalikan diri karena kondisi itu seakan diplot oleh angkuhnya kekuasaan dan kebijakan yang tak memperhitungkan ruang- ruang publik.

Lebih jauh, Soni dalam puisinya itu mengajak pembaca untuk membuka mata batin bahwa perubahan dari masyarakat agraris ke masyarakat industri memang menyisakan harapan dan kecemasan. Harapan mempertahankan tradisi agraristik ternyata bukan sesuatu yang mudah manakala tangan-tangan industri begitu angkuh mengajak untuk ikut serta dalam perubahan. Kita dapat merasakan getaran perubahan dalam bait puisi berikut ini, yang melanda tatanan sosial kemanusiaan. "...Dari Cimahi hingga Cileunyi/ masihkah si Leungli jadi pengantar/ tidur anak-anak? Kau bilang Doraemon/ melahap kepala dan ekornya yang gurih// sedang badannya disantap Superman,/ Tom & Jerry, dan Asterix dalam jamuan/ hiburan anak-anak, lewat saluran televisi/ kau dengar desah nafas Lutung Kasarung// dari tumpukan buku-buku tua,/ kotor, dan berdebu? Dari malam ke malam/ Parahyangan mengalun dalam irama// kota besar, disungkup bayang-bayang/ tajam pisau orang-orang lapar/ gentayangan sepanjang jam berputar...".(bait 13, 14, 15, dan 16).

Kian sumpek

Soni Farid Maulana sebagai yang hidup dan menghidupi Kota Bandung tentu dengan segala keinsafannya sebagai penyair telah memergoki kondisi lingkungan sosial Kota Bandung yang konsumtif dan kian sumpek saja, yang membuat dirinya mengalami kegundahan. "...Lewat Cigondewah genangan air,/ jalan berlobang sehabis hujan, adalah potret dunia ketiga. Hijau pesawahan diusir perumahan/ kicau burung-burung hanya patahan huruf// dicetak dalam buku cerita kanak- kanak. Begitulah,/ lewat Cihampelas, kicau burung-burung di antara/ rimbun pepohonan sudah lama pergi diusir gelegar/ pengeras suara yang dihuni lagu dangdut, rock,// dan jazz dari jajaran pertokoan yang menjual/ jeans dan kaos oblong. Kota Kembang, di manakah/ taman bunga? Ah, hanya mawar hitam yang// bermekaran sepanjang malam di ruas-ruas/ jantung kota. Selebihnya alir Cikapundung, bukan alun Seine di bawah le pont Mirabeau// antara Patenggang-Jayagiri// masihkah nyanyian alam dilantunkan/ desau rumputan, risik dedauanan/ dan suara-suara serangga malam?// antara Dayeuh Kolot-Cimahi dan Cileunyi/ masihkah geletar udara segar/ bagai sehampar hijau daun padi dimainkan/ angin? Masihkah pemilik negeri ini// rakyat yang ramah, saling sapa/ dengan senyum dan salam? Siapakah/ yang mengetuk pintu digelap malam// seradak-seruduk bagai babi hutan/ menyikat lahan orang? 'mabuk lagi, ah. Mabuk lagi...' Amis darah sengit sudah// di gelap malam aku mendengar/ Harry Roesli memetik gitar dan tersedu/ 'jangan menangis Indonesia,' katanya. Parahyangan/ bermantel kabut, dingin bagai raga tanpa nyawa// dari Cicaheum, Kebon Kalapa, hingga Leuwipanjang/ aku mendengar lagu orang-orang pinggiran dilantunkan/ tiang listrik dan warung kaki lima; negeri ini milik siapa?/ tajam belati tak puas-puasnya nenggak berlabu darah// sedang di pusat kota hiburan malam/ digelar orang dalam bangunan beton dan baja,//...." (bait 17-27).

Bandung sebagai kota belakangan ini ditengarai oleh suatu kebijakan pemerintah kota yang mencanangkan Bandung sebagai kota bunga. Secara kinematik niatan pemerintah kota itu secara serius berarti keinsafan dan kesadaran dalam melaksanakan falsafah "Bandung bersih, hijau, berbunga" yang pada akhirnya tidak menjadi sekadar plang penghias jalan di antara reklame-reklame iklan.

Kebijakan pemerintah kota itu sebagai niatan yang insya Allah mendatangkan berkah dan kebaikan sosial. Mengembalikan Bandung kepada martabat semula sebagai Parijs Van Java yang berbunga adalah cita-cita yang perlu mulai direspons oleh kesadaran semua pihak dan perlu didukung oleh arah kebijakan lainnya yang memungkinkan Bandung kian tertata.

Kesimpulannya, via puisi Variasi Parijs van Java yang ditulis penyair Soni Farid Maulana, kita dapat merasakan ihwal keberlangsungan Bandung dalam konteks humanitas dan sosial, di mana etos kesunyataan puisi sang penyair Soni adalah motif kesungguhan yang mengandung berkah. Berkah puisi di atas adalah hadirnya spirit dan inspirasi untuk reorientasi menciptakan suatu tatanan lingkungan dan kehidupan sosial yang lebih baik, menuju hari yang akan datang, di mana anak cucu tumbuh dengan kondisi lingkungan yang terjaga dan lestari. Mungkinkah?

LUKMAN ASYA Mantan Ketua Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) Universitas Pendidikan Indonesia
HU Kompas Jawa Barat, Selasa, 12 September 2006

Tidak ada komentar: