Selasa, 10 Juli 2007

Soni dan ”Secangkir Teh”

Judul Buku: Secangkir Teh
Penulis: Soni Farid Maulana
Kata Penutup: Yasraf Amir Piliang
Tebal: ix + 151 Halaman
Cetakan I: 2005
Penerbit: PT Grasindo, Jakarta

Oleh FLORA AGUSTIN

DALAM kata penutup antologi puisi "Secangkir Teh," Yasraf Amir Piliang menulis, puisi-puisi Soni Farid Maulana di dalam kumpulan "Secangkir Teh" ini, sarat dengan ajakan refleksi dan kontemplasi, yaitu ajakan memahami makna hidup, di dalam dunia masa kini yang semakin jauh dari tanda-tanda ketuhanan. Pintu gerbang yang dimasuki Soni dalam memahami jejak-jejak ketuhanan adalah pintu gerbang cinta, dalam pengertiannya yang paling luas. Cinta merupakan kekuatan puisi Soni, dalam pengertian bahwa melalui metafora-metafora cinta dalam cakrawala yang luas itu, makna-makna religiusitas dapat dihayati secara mendalam.

Tema religius dalam pengertian yang luas dalam konteks cinta, memang merupakan tema puisi garapan penyair Soni Farid Maulana. Pengamat sastra Korrie Layun Rampan dalam bukunya Angkatan 2000: Dalam Sastra Indonesia (Grasindo, 2000) juga mengatakan hal yang sama. Ini artinya, jejak-jejak religiusitas di dalam puisi-puisi Soni bisa dibaca dengan jelas, dan bahkan bisa dilacak sejak ia menulis puisi pada tahun 1976 lalu.

Soni Farid Maulana adalah penyair yang pada masa pertumbuhannya dibesarkan oleh HU Pikiran Rakyat, lewat rubrik ”Pertemuan Kecil” yang diasuh oleh Saini KM pada awal tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an. Selain Soni, dua kumpulan puisi sebelumnya dari Bandung yang diterbitkan oleh Grasindo adalah Saini KM lewat antologi puisi Nyanyian Tanah Air (2000) dan Acep Zamzam Noor dengan antologi puisi Jalan Menuju Rumahmu (2004). Pada tahun 2005 buku puisi Acep tersebut mendapat aungerah SEA Write Award dari Kerajaan Thailand dan juga hadiah sastra dari Pusat Bahasa, di Jakarta.

Jika Yasraf Amir Piliang mengatakan bahwa tema cinta merupakan kekuatan puisi Soni, persoalan cinta yang terdapat di dalamnya jauh dari kesan erotis dan vulgar. Yang hadir justru kesan romantis dan bahkan mistis seperti dalam sebuah puisinya di bawah ini, yang diberi judul ”Parfum Maut” (1987). Isi dari puisi tersebut berbunyi: di atas ranjangmu aku berbaring/angin dingin berhembus/menaburkan mimpi hitam kota besar/seketika bagai kucing lapar dan liar//kau terkam tubuhku tanpa ampun/malam ngalir ke jantungku/bagai cairan infus; dan engkau mengeluh/saat lolong anjing menyeruak dari dasar kuburan.//”apa yang terjadi, apa yang tengah terjadi?/parfum maut yang kuambung/mendesak kita ke arah yang kelam?”//ranjang hanya sunyi. Endapan duka/mengental di dasar jiwa/bergetah sepi//.

Kekuatan cinta yang ditulis dalam puisi-puisinya ini, tidak hanya membayang dalam sejumlah puisi yang bernuansa mistis, tetapi juga membayang dalam sejumlah puisi lainnya, baik yang bersinggungan dengan masalah sosial, religius, dan bahkan maut. Semua itu bisa ditangkap dengan mudah — karena Soni dalam menulis puisi-puisinya tidak menggunakan kata-kata maupun daya ungkap yang rumit. Ia menulis dengan cara yang sederhana. Namun demikian makna yang dikandung di dalam puisi-puisinya tidak sesederhana apa yang ditulisnya.

Pengamat sastra Prof. Dr. Suminto A. Sayuti mengatakan bahwa lirisisme dalam karya-karya Soni cenderung menggapai makna ke-aku-an, tetapi tetap dalam modus ke-kita-an, yakni kebersamaan antara aku dan kau, I and Thou dalam istilah Martin Buber.

Diksi kau dan aku dalam puisi-puisinya ini memang hadir dengan posisi yang tidak hanya merujuk pada aku dengan a huruf kecil, tetapi juga Aku dengan a huruf kapital. Karena itu tak aneh kalau Prof. Dr. Suminto A. Sayuti dalam membaca puisi-puisi Soni Farid Maulana harus masuk ke rimba filsafat Barat dengan menjenguk Martin Buber sebagai bahan rujukannya.

Di dalam antologi ini, Soni menulis juga sejumlah puisi dengan latar belakang luar negeri. Sejumlah puisinya yang bertema musim dingin, baik mengenai Paris, Den Haag, Leiden, dan sejumlah tempat lainnya di Eropa — telah memberikan sebuah pengalaman baru, tentang kerinduan dan keterasingan yang bergaung di dalam batinnya. Dua puisi yang cukup menggetar antara lain berjudul Di Negeri Salju yang didedikasikan kepada Rendra, dan Berjalan di Pinggir Sungai Seine yang dipersembahkan kepada kekasihnya tercinta, Heni Hendrayani. Kedua puisi tersebut ditulis pada tahun 1999. Pada tahun itu, Soni memang berkesempatan ke luar negeri, ke Belanda, mengikuti Festival de Winternachten bersama Rendra, yang setelah itu dilanjutkan ke Paris. Di dalam puisi-puisinya, tema cinta hadir pula dalam konteks sosial-politik yang pedih, yang berkait erat dengan ingatan-ingatannya yang menukik ke tanah air.

Paling tidak, membaca antologi puisi "Secangkir Teh" yang ditulis sepanjang 1982-2004 adalah membaca panorama batin Soni Farid Maulana dalam menulis puisi. Sebagai penyair, Soni tidak hanya dikenal di Indonesia saja. Tetapi juga di luar negeri. Ia telah mampu menempatkan dirinya dalam sebuah wilayah yang dikenal orang. Bahwa apa yang ditulisnya terasa ada kekurangan atau kelebihan, adalah suatu yang wajar. Saya yakin, Soni tidak akan puas hanya dengan Secangkir Teh. Ia pasti telah menyiapkan sejumlah puisi lainnya. Rendra bilang, Soni adalah penyair yang berkembang dengan pesat, yang terus mencari kesempurnaan pengucapan bagi puisi-puisi yang tengah ditulisnya.***

Penulis penikmat sastra.


Senin, 09 Januari 2006, HU Pikiran Rakyat

Tidak ada komentar: